Thursday, 7 March 2013

Mengenal konsep 'mitos agensi tekstual'



Tuhan Yesus tidak berubah
Tidak berubah
Tidak berubah
Tuhan Yesus tidak berubah
Tak berubah, selama-lamanya

Pernahkah Anda mendengar lagu di atas? Setujukah Anda dengan isinya? Yakin?

Kali ini kita akan menelaah bahwa lagu itu mungkin ada benarnya, tapi mungkin juga ada salahnya. Tuhan Yesus mungkin tidak berubah dalam hal-hal tertentu; tapi dalam hal-hal lain, seperti ajarannya tentang apa yang benar dan salah, ternyata sering berubah sepanjang zaman lho!

Daftar Dosa yang Selalu Berubah
Kalau kita menengok sejenak perjalanan sejarah kekristenan selama lebih dari 2000 tahun, ada banyak hal yang dulu pada zaman Alkitab dianggap dosa, namun sekarang tidak lagi. Dan sebaliknya, ada banyak hal yang di Alkitab dipraktikkan, namun sekarang kita anggap dosa terkutuk.

  • Perbudakan: dipraktikkan sejak zaman PL hingga PB, dan masih dilakukan orang Kristen sampai sekitar 200 tahun yang lalu. 
  • Poligami: dipraktikkan sejak zaman PL hingga PB, dan baru dilarang gereja sekitar abad pertengahan. 
  • Genosida (pembasmian etnis): Di PL Tuhan memerintahkan bangsa Israel untuk menghabisi bangsa-bangsa Kanaan, termasuk perempuan, anak-anak, dan ternak. Di abad pertengahan gereja membaptis prajurit di bawah bendera sebelum berangkat berperang menghabisi umat Muslim. Puji Tuhan zaman sekarang umat Kristen tidak lagi berperang atas nama Tuhan. 
  • Makanan haram: udang, babi, swikee, belut, dll adalah makanan haram di PL dan masih dipraktikkan Petrus di Perjanjian Baru. Tapi sekarang kita menikmati makanan-makanan lezat itu. Yum! 
  • Hari Sabat: Dipraktikkan dengan ketat di PL, dikacaubalaukan oleh Yesus, tidak dipraktikkan oleh kebanyakan gereja saat ini, namun ada saudara kita gereja Advent yang masih menjaga hari Sabat. 
  • Berjualan di gereja: Yesus luar biasa marah pada orang-orang yang berjualan di Bait Allah. Tapi sekarang kita malah senang kalo ada tukang bakso yang nangkring di depan gereja. 
  • Perpuluhan: Diajarkan di PL, tidak pernah disinggung di PB, saat ini masih dipraktikkan di banyak gereja dengan kaku (jika tidak memberi 10% ke gereja dianggap mencuri uang Tuhan), namun di gereja saya sekarang (St Andrews) tidak begitu (tidak dianggap mencuri karena prinsip memberi adalah dengan sikap bersyukur, patokannya bukan 10% tapi kerelaan). 
  • Perceraian: Diijinkan oleh Musa, dipraktikkan di PB oleh bangsa Israel, tapi kemudian ditentang oleh Yesus, saat ini pendapat gereja bervariasi: dari yang menolak mentah-mentah, me-nol-kan pernikahan, hingga mengijinkan perceraian. Kalau di gereja saya sekarang? ‘Case by case’ kata Pak Pendeta. 
  • Homoseksualitas: wah ini panjang perdebatannya. Nanti akan saya bahas di kesempatan lain.. Yang pasti ada gereja yang menerima, ada yang menolak.

Mitos Agensi Tekstual
Mengapa bisa begitu ya? Mengapa dari Alkitab yang sama bisa muncul banyak sekali pendapat yang berbeda antar gereja, juga antar zaman? Jawabannya, karena Alkitab sebenarnya tidak pernah ‘berbicara’ secara langsung pada kita. Atau istilah kerennya ‘the myth of textual agency’ (konsep ini dicetuskan seorang teolog yang bernama Dale B. Martin, 2006)

Coba kita letakkan Alkitab di tengah ruangan, lalu kita katakan: “Berbicaralah.” Dan kita tunggu dalam kesunyian hingga ia berbicara. Sampai setahun juga Alkitab tersebut tidak akan berbicara. Agar Alkitab ‘berbicara’ pada kita, kita harus membukanya, membacanya, menginterpretasinya, memahaminya, merenungkannya, mendiskusikannya, dan menerapkannya. Teks tidak punya agensi (kemampuan untuk mengambil inisiatif, memilih, mengambil putusan, dst). Manusia lah yang memiliki agensi. Kita lah yang membuat Alkitab ‘berbicara’.

Repotnya, cara kita membaca Alkitab tidak pernah bisa langsung, selalu dimediasi/memakai perantara interpretasi, yaitu bahasa, budaya, dan ideologi. Kita harus menguasai bahasa dahulu, barulah bisa membaca Alkitab. Masalahnya sebuah bahasa tidak pernah bisa 100% menangkap makna persis seperti dalam bahasa lain (coba saja jelaskan konsep ‘jayus’ atau ‘ilfil’ ke English speakers, tidak mungkin bisa ditangkap persis 100% seperti kita memahaminya). Kita juga lahir ke bumi dalam budaya tertentu. Orang dari budaya yang berbeda tidak bisa sepenuhnya menangkap realita sosial di budaya lain. Mengapa kita tidak terkejut ketika diceritakan ayah dari anak yang hilang BERLARI mendapati anaknya, sementara bagi audiens Yesus di zamannya, itu adalah hal yang jaw-dropping? Bisakah kita mengerti koq bisa-bisanya Lot menawarkan anak gadisnya untuk diperkosa demi melindungi tamu? Sulit.. karena kita tidak bisa membayangkan budaya hospitality di zaman itu. Kita juga selalu hidup dalam ragam ideologi tertentu, yang selalu menjadi ‘kacamata’ ketika kita membaca teks. Pertanyaan tentang ‘jaminan keselamatan’ misalnya, baru muncul ketika dimana ideologi modern mulai berkembang. Sebelumnya, tidak pernah ada yang menanyakan ‘jaminan keselamatan’ dalam Tuhan, karena di zaman kerajaan-kerajaan hak asasi individu untuk hidup tidak diakui. Kalau raja bilang bunuh ya bunuh. Selesai. Tidak ada jaminan.

Dale Martin juga mengkritik pendekatan historical criticism, yaitu pendekatan tafsir Alkitab yang ngotot membuktikan bahwa kebenaran mutlak bisa kita temukan kalau kita bisa mengungkap historical meaning nya dengan akurat, seperti: apa maksud sesungguhnya si penulis, apa situasi sejarah saat itu, bagaimana kriteria interpretasi yang benar/eksegesis, dst.  Dale menunjukkan bahwa pada pakar sejarah tidak pernah saling setuju tentang satu peristiwa sejarah. Juga para pakar hermeneutika tidak pernah saling sepakat kriteria eksegesis yang sama. Contohnya, sebelum reformasi hanya magisterium Roma Katolik yang boleh melakukan interpretasi terhadap Alkitab. Martin Luther dan kita gereja protestan jelas menentang ide ini. Kita semua boleh membaca dan menginterpretasi Alkitab tanpa perlu menjadi pakar hermeneutika. Dale lalu menyimpulkan bahwa “history … cannot serve as the epistemological foundation for theology.”

Makanya, meskipun kita selalu mengakui bahwa Alkitab adalah Firman Allah yang sempurna, akses kita ke Firman Allah yang sempurna itu itu tidak pernah sempurna. Interpretasi kita selalu dimediasi hal-hal lain. Kita selalu memakai ‘kacamata’ ketika membaca. Apa boleh buat, toh tidak ada jalan lain. Mau tidak mau kita harus mengakses Firman Tuhan lewat interpretasi yang tidak sempurna itu. Makanya bisa ada banyak perbedaan pendapat antar gereja.

Anarki moral?
Lalu kalau begitu apakah ini berarti kita bisa sebebas-bebasnya menginterpretasi Alkitab sesuka hati kita? Toh tidak pernah ada satu interpretasi yang ‘murni’ dan ‘kekal’ sepanjang zaman?

Justru sebaliknya! Kita harus makin berhati-hati dan makin rajin menelaah Alkitab. Kita harus terus mengintrospeksi diri dan interpretasi kita, apakah interpretasi kita sesuai dengan kehendak Allah pada zaman ini. Apakah interpretasi kita makin hari makin membuat kita mengasihi Allah dan sesama? Tidak bisa lagi kita secara sederhana mengatakan “Inilah yang dikatakan Alkitab dan taatilah!”

Tidak perlu terkejut dengan hal ini, karena toh selama ini kita memang tidak pernah murni menaati apa yang Alkitab tulis koq. Kita selalu memilah dan memilih mana ayat yang kita anggap relevan, dan mana yang kita abaikan. Misalnya, mengapa kita tidak pernah melakukan perintah Yesus ‘jika matamu menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu’, ketika jalan-jalan ke pantai dan melihat cewek-cewek berbikini?

Alkitab yang selalu direinterpretasi ini juga malah bikin iman Kristen selalu relevan. Ia jadi memiliki kemampuan untuk terus beradaptasi dan berhadapan dengan dosa-dosa baru yang tidak ada di Alkitab, seperti berjudi, narkoba, internet addiction, perusakan lingkungan, dll.

Sudah saatnya slogan ‘what would Jesus do?’, kita ganti dengan ‘what would Jesus want me to do in this cultural and historical situation?’ Kalau kita tetep mau melakukan persis apa yang Yesus lakukan, kita mestinya menggulingkan rombong tukang bakso di depan gereja, menyumpahi politikus munafik dengan kalimat ‘celakalah kamu…’, dan menyebut gubernur dengan istilah ‘si serigala itu’.


Bibliografi:
Martin, D. B. (2006). Sex and the single savior: Gender and sexuality in Biblical interpretation. Louisville, Ky.: Westminster John Knox Press.

1 comment:

  1. Komentar dari Bpk Ishak Natan, salah seorang majelis grj St Andrews, tentang artikel ini:
    www.geocities.ws/inatan/KomentarMitosTeguh.html

    ReplyDelete