Thursday, 7 March 2013

Menengok kembali praktik ibadah minggu



Setiap hari minggu kita ke gereja. Kita datang, kita duduk, bernyanyi, mendengar firman, memberi kolekte, ngobrol-ngobrol, menikmati konsumsi, lalu pulang. Ini umumnya kita sebut sebagai kebaktian atau ‘ibadah’ minggu. Kehadiran rutin di ibadah minggu sering dianggap indikator terpenting iman kita. Jika ada orang Kristen yang tidak pernah datang ke ibadah minggu, maka kita bisa menuduhnya sebagai ‘Kristen KTP’, atau ‘cuma Kristen-kristenan’, atau ‘Kristen tapi tidak sungguh-sungguh’. Kehadiran mingguan ini juga menjadi perhatian utama pendeta dan pengurus gereja. Bahkan ada tim pemerhati khusus untuk mengunjungi mereka yang ‘undur’ atau tidak lagi rutin hadir di ibadah minggu.

Namun jika kita renungkan sejenak, pernahkah Yesus mengajarkan praktik ibadah minggu ini? Atau Paulus, Petrus, Yohanes, atau penulis Perjanjian Baru lainnya? Lebih jauh lagi, benarkah kegiatan 2 jam seminggu ini pantas kita sebut ‘ibadah’? Dan cocok dipakai untuk memisahkan siapa Kristen yang sungguh-sungguh, dan Kristen yang tidak sungguh-sungguh? Yuk kita bahas…

Sejarah lahirnya ‘ibadah’ minggu
Praktik mengkhususkan satu hari untuk beribadah sangat dekat dengan praktik hari Sabat yang dipelihara oleh orang Yahudi. Di Perjanjian Lama Tuhan memerintahkan bangsa Israel untuk ‘mengingat dan menguduskan hari Sabat’. Mereka berhenti bekerja dan melakukan ritual ibadah di hari Sabat. Praktik ini diyakini bermula dari teladan Tuhan sendiri saat penciptaan. Enam hari bekerja, dan Tuhan beristirahat pada hari ketujuh.

Umat Kristen mengadopsi hari minggu sebagai hari untuk ibadah sejak Kaisar Konstantin memutuskan mengganti ritual ibadah dewa matahari Romawi di hari minggu menjadi ibadah Kristiani. Dari ‘sun day’ menjadi Lord’s day. Hal ini kemudian diteguhkan oleh teolog-teolog dan lembaga gereja saat itu (seperti Ignasius dari Antiokia, Justin Martyr, Tertulius, Victorinus, Eusebius dari Kaisarea, Konsili Laodikia, Paus Gregory I, dll), dan tetap dipertahankan hingga kini. Misalnya, di Katekismus Douay tahun 1649 dicantumkan:

Q. What is Sunday, or the Lord's Day in general?
A. It is a day dedicated by the Apostles to the honor of the most holy Trinity, and in memory that Christ our Lord arose from the dead upon Sunday, sent down the holy Ghost on a Sunday, and therefore is called the Lord's Day. It is also called Sunday from the old Roman denomination of Dies Solis, the day of the sun, to which it was sacred.

Sejauh yang saya baca, Alkitab Perjanjian Baru tidak pernah secara eksplisit memerintahkan kita mengkhususkan satu hari untuk ibadah. Yesus sendiri malah terang-terangan menentang praktik hari Sabat ala Yahudi. Yesus beberapa kali menyembuhkan orang sakit di hari Sabat, dan juga mendukung murid-muridNya memetik gandum di hari Sabat. Lalu kata Yesus kepada mereka: "Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat.” (Markus 2:27)

Jadi kalau begitu, jangan-jangan ibadah minggu yang kita pahami sekarang sebenarnya tidak terlalu Alkitabiah, namun hanyalah kesepakatan lembaga gereja zaman mula-mula? Karena toh Alkitab tidak pernah benar-benar mengajarkannya. Jangan-jangan yang kita lakukan selama ini bukanlah ‘ibadah’ yang Tuhan inginkan?!?

Ah masa iya sih.. bagaimana dengan teladan jemaat mula-mula di Kisah Para Rasul 2: 42-47? Bukankah mereka berkumpul, memecahkan roti, berdoa, memuji Allah, dan mendengarkan pengajaran rasul-rasul; persis seperti yang kita sekarang lakukan setiap hari minggu? Menurut saya berbeda. Pertama, mereka tidak melakukannya seminggu sekali, tapi “tiap-tiap hari” (ayat 46). Kedua, praktik itu tidak disebut ibadah, tapi “bertekun dalam pengajaran dan dalam persekutuan” (ayat 42). Ketiga, kalau kita mau konsisten meniru Kisah 2:42-47, mengapa kita tidak mempraktikkan “segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama”, dan “menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing” (ayat 45)? Mengapa kita seenaknya memilih bagian ayat yang lebih kita sukai untuk dipraktikkan?

Lalu, bagaimana dong seharusnya ‘ibadah’ itu? Mari kita telaah apa kata Alkitab tentang ibadah yang sejati.

Apa sebenarnya esensi ‘ibadah’ menurut Alkitab?
Di Alkitab bahasa Indonesia Perjanjian Baru ada 47 ayat yang mengandung kata ‘ibadah’. Di Alkitab bahasa Inggris, ke 47 kata ‘ibadah’ tersebut kebanyakan diterjemahkan sebagai ‘worship’, kadang sebagai ‘godliness’ , ‘devotion’, ‘sacred service’, ‘religious/reverent’, atau ‘piety’. Dari ke 47 ayat itu, hanya ada dua ayat yang saya temukan memberikan petunjuk tentang makna ibadah yang sejati.

Yang pertama adalah Yakobus 1:27 “Ibadah yang murni dan yang tak bercacat di hadapan Allah, Bapa kita, ialah mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka, dan menjaga supaya dirinya sendiri tidak dicemarkan oleh dunia.” Anehnya, ayat ini sama sekali tidak menunjuk ke bentuk praktik ibadah seperti yang kita lakukan setiap minggu. Di ayat ini tidak ada nyanyian, tidak ada khotbah, tidak ada kolekte, tidak ada doa berkat. Justru konsep ibadah di sini dijelaskan sebagai pelayanan sosial dan menjaga kekudusan. Teramat jarang saya mendengar ada jemaat yang ditegur pendetanya karena kurang rajin melakukan pelayanan sosial sambil menjaga diri supaya tidak dicemarkan oleh dunia. Bandingkan dengan pertanyaan: “koq lama ngga keliatan di kebaktian minggu?”

Ayat kedua yang memberikan petunjuk adalah Roma 12:1 “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.” Kalau ayat sebelumnya menggunakan istilah “murni dan tak bercacat di hadapan Allah”, ayat ini menggunakan istilah “sejati”. Calvin commentary seputar ayat ini menjelaskan bahwa manusia sering merasa puas dengan bentuk ibadah yang dibuatnya sendiri, padahal di mata Tuhan semua itu kosong belaka. Ayat ini mengontraskan ibadah eksternal (seperti mempersembahkan korban hewan) dengan ibadah yang sejati, yaitu mempersembahkan seluruh hidup kita.

Saya jadi teringat akan ritual kosong 5D yang saya lakukan setiap minggu: datang-duduk-diam-dengar-duit. Asalkan sudah datang gereja, sudah ikut bernyanyi (meski tidak mengerti liriknya), sudah mendengar khotbah (meski langsung lupa apa isinya setiba di rumah), sudah memberi kolekte (uang kecil saja kan, paling banyak juga 10% dari penghasilan), dan sudah mengucapkan pengakuan iman rasuli (di bibir saja sih); saya sudah merasa ‘beribadah’. Benarlah kata Paulus dalam 2 Timotius 3:5: “Secara lahiriah mereka menjalankan ibadah mereka, tetapi pada hakekatnya mereka memungkiri kekuatannya. Jauhilah mereka itu!

Sangat mungkin ini kemunafikan saya pribadi sih. Semoga ini hanya saya lho, bukan orang-orang Kristen lain. Yuk kita tes:
1.       Apakah Anda ingat apa isi khotbah 2 minggu yang lalu?
2.       Seberapa banyak Anda memikirkan “Tuhan” selama ibadah itu, atau lebih banyak menikmati suasana, lagu, khotbah, teman-teman; atau pikiran berkelana kemana-mana?
3.       Hal penting apa yang Anda alami dalam ibadah itu? Adakah pengalaman yang mengubahkan?
4.       Apakah kehadiran Anda dalam ibadah itu membuat Anda lebih mengasihi Allah dan sesama? Jika iya, dalam bentuk/cara yang bagaimana?
5.       Apakah Anda mengerti dan meresapi setiap kalimat dalam Doa Bapa Kami dan Pengakuan Iman Rasuli yang Anda ucapkan? Kalau saya sih merasa mengucapkannya terlalu cepat sehingga tidak sempat lagi memikirkan artinya..

Lalu bagaimana semestinya ibadah minggu kita?
Pertama, bagi saya istilah ‘ibadah minggu’ sendiri sudah keliru. Ibadah bukan hanya hari minggu. Ibadah adalah gaya hidup. Ibadah adalah praktik setiap hari. Ibadah adalah penyembahan - ekspresi cinta terdalam pada Sang Mutlak, yang meresap ke setiap sel tubuh kita dan setiap detik kesadaran kita.

Sayangnya manusia nampaknya tidak bisa hidup tanpa ritual. Kita terlalu mudah lupa kalau tidak ada jadwal rutin. Kata James K. A. Smith sih, “We are liturgical animals”. Kita perlu rutinitas – bangun/tidur, sekolah, bekerja, mandi, makan, juga beribadah.

Saya sedikit banyak setuju dengan seorang pendeta pernah mengatakan bahwa hal terpenting dalam ibadah adalah perjumpaan ilahi (spiritual encounter), yaitu momen ketika kita merasakan kehadiran Tuhan begitu nyata dalam praktik menyembah. Kita seakan ‘bertemu’ dengan Yesus sendiri sehingga menghasilkan perubahan hidup. Persis seperti Paulus dalam perjalanan ke Damsyik. Ia berjumpa dengan Yesus, ia mengalami perubahan dramatis. Tentunya perubahan tidak harus selalu se-dramatis itu. Namun saya sepakat bahwa perjumpaan dengan Tuhan mestinya membawa perubahan; entah dalam cara berpikir, perasaan terhadap sesuatu, pemahaman tentang dunia, keputusan baru, ataupun kerinduan/semangat yang bertambah.

Ironisnya, ibadah minggu di gereja-gereja yang pernah saya hadiri lebih berfokus pada kenyamanan jemaat, bukan pada kehadiran Tuhan. Pengurus gereja lebih pusing memikirkan cara agar jemaat nyaman dan menikmati suasana kebaktian, bukan memikirkan bagaimana Tuhan bisa disenangkan. Kalau ibadah diterjemahkan sebagai worship (penyembahan), maka kita perlu bertanya sebenarnya siapa yang sedang disembah. Coba kita pikirkan sejenak, untuk kenyamanan siapa sih sebenarnya pendingin/penghangat ruangan dipasang di gereja? Untuk siapa rangkaian bunga indah itu dipajang? Musik nan indah dilantunkan? Proyektor yang terang, ppt slide didesain keren dan dinamis? Kata-kata positif penuh pengharapan/penghiburan sepanjang khotbah? Kursi yang empuk? Makanan ringan lezat dan minuman hangat setelah kebaktian?

Lalu apa berarti ibadah minggu kita harus jelek, menyakitkan, membosankan, dan sangat tidak nyaman? Tentu tidak.. Kita harus realistis, gereja juga tetap butuh jemaat dong. Gereja tidak bisa lepas dari budaya, termasuk budaya konsumeris, hedonis, dan neoliberalis yang kita hidupi sekarang. Gereja harus berbicara dalam ‘bahasa’ yang dimengerti, harus mengikuti ‘aturan main’ dan ‘logika ekonomi’ masyarakat.

Ajakan saya adalah untuk merenungkan kembali apa yang kita anggap sebagai ibadah, dan apa dampaknya pada hidup kita dan masyarakat sekitar. Sudahkah ibadah kita menyenangkan Tuhan, dan perjumpaan kita dengan Yesus membawa perubahan dalam dunia?

1 comment: