Isu
homoseksualitas telah memecah belah gereja di negara-negara Barat, termasuk New
Zealand. Perdebatan sengit sering terjadi antara kutub yang satu (yang meyakini
homoseksualitas adalah dosa terkutuk) dan kutub yang lain (yang meyakini gereja
seharusnya menerima dan memberkati pernikahan sesama jenis), juga berbagai
posisi di antara kedua kutub tersebut. Bumbu-bumbunya pun menghangatkan
suasana, seperti ucapan “mereka itu sesat”, “ini tanda-tanda akhir zaman”, atau
“dasar mereka itu konservatif dan fundamentalis”. Di kalangan gereja Indonesia
belum terjadi perpecahan setajam ini, namun mungkin saja terjadi dalam waktu
yang tidak terlalu lama lagi.
Posisi Gereja tentang Homoseksualitas
Sebuah
buku karangan Holben (1999) memetakan setidaknya ada enam posisi gereja terhadap
homoseksualitas. Pertama adalah ‘abomination’, yaitu homoseksualitas dianggap
dosa terkutuk kapanpun dan dimanapun. Posisi kedua adalah ‘change is expected’,
yaitu kaum homoseks dianggap sakit sehingga perlu dipulihkan menjadi heteroseks
yang normal. Penelitian saya pada pendeta-pendeta di Surabaya tahun 2011
menunjukkan bahwa kebanyakan mereka berada pada posisi ini (Wijaya Mulya, in press).
Ketiga, ‘celibate is expected’. Posisi ini meyakini bahwa dorongan homoseks bukan dosa dan tidak perlu/tidak bisa diubah,
tetapi mempraktikkan aktivitas seks
sesama jenis lah yang dosa. Oleh karena itu kaum homoseks dipanggil untuk
memikul salibnya yaitu hidup selibat. Keempat, ‘marginally acceptable’, praktik
seks sesama jenis boleh saja, asalkan dalam hubungan monogami. Pertimbangannya,
hidup selibat bukanlah hal mudah yang bisa dilakukan semua orang. Kelima, ‘affirmation’,
yaitu mereka yang heteroseksual dan homoseksual harus diperlakukan sama.
Keenam, ‘liberation’, yaitu mereka yang anti homoseks lah yang harus dibebaskan
dari belenggu dosa kebencian. Keenam posisi ini bukan teoretis belaka lho, ada
contoh nyata gereja/denominasi di setiap kategori, dan mereka semua mengaku
berlandaskan Alkitab.
Bawaan vs Lingkungan
Topik
lain yang sering muncul dalam perdebatan seputar homoseksualitas adalah
bagaimana seseorang bisa menjadi homoseks, dan apakah orientasi seksual ini
bisa berubah. Ada pihak yang meyakini bahwa homoseksualitas muncul akibat
bentukan lingkungan (pelecehan seksual oleh orang dewasa sesama jenis di masa
kecil, sosok ayah yang lemah dan ibu yang dominan, dan lain-lain), sehingga
bisa ‘disembuhkan’. Kelompok-kelompok Kristen yang meyakini hal ini biasanya memberikan
terapi untuk ‘menyembuhkan’ homoseksualitas, seperti Living Water
International, Exodus International, dan NARTH (National Association for
Research and Therapy of Homosexuality). Di sisi lain, ada pula pihak yang
meyakini homoseksualitas bersifat bawaan (faktor genetik, struktur saraf otak,
ketidakseimbangan hormon saat di kandungan, dan lain-lain), sehingga tidak bisa
dan tidak perlu ‘disembuhkan’.
Penelitian-penelitian
terkini menyimpulkan bahwa homoseksualitas - sama seperti kebanyakan perilaku
manusia lainnya - adalah hasil kombinasi rumit faktor bawaan dan lingkungan.
Tidak bisa disimpulkan hanya satu faktor saja yang lebih dominan.
Penelitian
lain mengkritik pertanyaan tentang asal muasal ini. Mengapa kita tidak pernah
bertanya, darimana dorongan heteroseks datang? Hanya karena kebanyakan orang di
negara Barat berkulit putih, apakah perlu kita menanyakan ‘mengapa kulitmu
hitam’ pada mereka yang berkulit hitam?
Lagipula,
entah bawaan atau lingkungan, penyebab tidak bisa dijadikan dasar memutuskan
dosa atau tidak. Hanya karena psikopat dilahirkan tanpa kemampuan berempati
bukan berarti membunuh tidak dosa. Demikian juga anak yang dibesarkan dalam
keluarga yang penuh kekerasan bukan berarti berhak melakukan kekerasan. Dosa
atau tidak, harus diputuskan berdasarkan Alkitab.
Lalu Apa Kata Alkitab tentang Homoseksualitas?
Setidaknya
ada 6 bagian Alkitab yang secara eksplisit menyinggung hubungan sesama jenis.
Salah satunya adalah kisah Lot yang dikeroyok warga karena mereka ingin berhubungan
seks sesama jenis dengan tamunya. Di kitab Imamat 18: 22 dan 20:13 juga ada
larangan (plus hukumannya) untuk praktik homoseks. Ayat lain yang terkenal
adalah Roma 1:27, ketika Paulus mengatakan: “suami-suami meninggalkan
persetubuhan yang wajar dengan isteri-isteri mereka … sehingga mereka melakukan
kemesuman, laki-laki dengan laki-laki …”. Ayat-ayat ini menjadi dasar bagi pihak
yang anti-homoseks. Mereka mengklaim bahwa Alkitab jelas-jelas menentang
homoseksualitas.
Bagaimana
dengan pihak yang pro? Mereka berargumen bahwa Alkitab harus dipahami dalam
konteks dan zamannya, sehingga maksud Tuhan bisa kita mengerti. Misalnya dalam kisah
Lot, jangan-jangan dosa yang terkutuk adalah pemerkosaan beramai-ramai terhadap
tamu yang berkunjung, bukan relasi sesama jenisnya? Demikian pula Roma 1:27,
Paulus menceritakan bermacam-macam akibat penyembahan berhala termasuk
persetubuhan yang tidak wajar dengan sesama jenis. Pada zaman itu kuil-kuil
berhala sangat dekat dengan praktik seksual, bahkan ada prostitusi di kuil-kuil
tersebut. Ini tentu berbeda dengan relasi sesama jenis zaman sekarang yang berdasarkan
cinta kasih dan respek. (Analisis selengkapnya terhadap keenam bagian Alkitab
ini bisa dibaca di tulisan G.B. Sayler, 2005.)
Lalu,
mana interpretasi yang lebih benar, atau istilah teologisnya, yang eksegesis?
Mengapa ketika Yesus berkata “Dan jika matamu menyesatkan engkau, cungkillah
dan buanglah itu” (Mat 18:9), kita menganggapnya hanya kiasan. Tuhan tidak
serius tapi cuman bermain kata-kata hiperbolik belaka, makanya kita tidak perlu
sungguhan mempraktikkannya. Tapi ketika Alkitab menulis “Bawalah seluruh
persembahan persepuluhan itu … dan ujilah Aku, apakah Aku tidak membukakan
bagimu tingkap-tingkap langit dan mencurahkan berkat kepadamu sampai
berkelimpahan” (Mal 3:10), kita dengan senang hati menganggap Tuhan serius,
bukan kiasan. Tidak ada jawaban yang mudah untuk mengklaim mana tafsiran
Alkitab yang paling benar. Jangankan tafsirannya, kriteria untuk membuat
tafsiran saja tidak pernah 100% sepakat antar pakar hermeneutika/ilmu tafsir
Alkitab. (Analisis lebih detail tentang ini bisa ditemukan di tulisan-tulisan
Dale Martin tentang konsep ‘the myth of textual agency’. Sudah saya rangkum
juga di artikel lain di blog ini)
Seks, Alkitab, dan Sejarah
Menambahkan
faktor sejarah ke dalam perdebatan akan memperlengkap pemahaman kita tentang
homoseksualitas, dan juga seksualitas secara umum. Tulisan lama dari teolog
Prof Walter Wink (1979) sangat bermanfaat untuk ini.
Prof
Wink mengungkap fakta sejarah yang kurang menggembirakan, terutama bagi orang
Kristen yang ingin jawaban gampangnya. Ia menunjukkan bahwa Alkitab sebenarnya
sama sekali tidak menyediakan panduan etika seksual. Yang ada di Alkitab
hanyalah cerita tentang praktik budaya seksual di zaman tertentu yang tidak pernah
bisa kita jadikan pegangan abadi.
Ia
membuktikan argumennya dengan memaparkan praktik-praktik seputar seks dan
pernikahan yang: (a) dianggap wajar di zaman Alkitab, namun sungguh mengerikan
bagi kita sekarang, dan (b) kita anggap wajar di zaman sekarang, padahal
dilarang di zaman Alkitab.
Berikut
daftar praktik-praktik tersebut:
- Perjanjian Lama (PL) dan Perjanjian Baru (PB) tidak pernah terang-terangan menentang praktik poligami dan bergundik (perempuan yang tinggal dengan laki-laki tanpa menikah). Mengapa gereja zaman sekarang tidak mengijinkan poligami? Juga bergundik? Apa dasar Alkitab nya?
- Pada zaman Alkitab pernikahan tidak perlu pacaran, tidak perlu saling mengenal, tidak perlu cinta, bahkan tidak perlu persetujuan orang yang bersangkutan. Yang harus setuju adalah keluarga/ayahnya. Saya yakin tidak ada gereja yang mengajarkan ini zaman sekarang.
- Ketika suami meninggal tanpa memiliki anak, istri yang ditinggalkannya harus menikah dengan saudara laki-laki suaminya satu per satu, hingga ia memiliki anak. Yesus tidak mengutuk praktik aneh ini (Markus 12:18-27). Mengapa kita mengabaikan ayat ini dengan mudah, dan mati-matian mempertahankan ayat tentang homoseksualitas?
- Di Perjanjian Lama (PL), orang Israel dilarang berhubungan seks selama 7 hari masa menstruasi. (Im 18:29, 15:19-24). Jika ini dilakukan, maka mereka diusir dari komunitas atau dirajam.
- Pengantin perempuan yang tidak perawan saat malam pernikahan dirajam hingga mati (Ul 22:13-21). Mengapa ini tidak kita lakukan lagi di zaman sekarang?
- Air mani dan darah menstruasi dianggap najis (Im 15:16-24). Siapa menyentuhnya najis hingga tujuh hari. Tapi ini kita abaikan begitu saja, sementara Imamat 18 dan 20 tentang homoseksualitas tetap kita pegang teguh.
- Israel mempraktikkan pernikahan endogami, yaitu menikah hanya dengan sesama dua belas suku Israel. Adakah gereja zaman sekarang yang mengajarkan pernikahan harus dengan yang sama suku/bangsa?
- Perempuan di zaman Alkitab dinikahkan pada usia yang sangat muda (11-13 tahun). Berarti undang-undang anti pedofilia bertentangan dengan Alkitab?
- Seks dengan budak dan tawanan adalah wajar. Majikan bisa memperlakukan mereka sesuka hatinya. PL dan PB tidak pernah mengutuk hal ini. Tidak heran 150 tahun yang lalu di Amerika Serikat perlakuan mengerikan terhadap budak sering di-back up dengan ayat Alkitab (seperti 2 Sam 5:13, Hakim-hakim 19-21, Bil 31:18).
- Perceraian diijinkan oleh hukum Musa (Ul 24:1-4), namun Yesus menentangnya (Mar 10:1-12, Mat 19:9).
Apa
yang bisa kita pelajari dari semua ini? Nampaknya konsep dosa dan etika seksual
selalu berganti sepanjang sejarah. Saya sih setuju dengan argument Prof Wink: Alkitab
tidak menyediakan aturan baku tentang
seksualitas yang berlaku sepanjang zaman. Alkitab hanya menceritakan praktik-praktik seks di budaya dan zaman
tertentu.
Ini
bukan hal baru. Coba kita tengok praktik-praktik lain di luar seksualitas. Seperti
genosida (pembasmian etnis) misalnya, Tuhan sendiri yang memerintahkan orang
Israel membasmi bangsa kafir, bahkan perempuan, anak-anak, dan ternak dituntut
untuk dihabisi semuanya. Syukurlah praktik ini sudah tidak kita lakukan lagi.
Contoh lain, kita meyakini bahwa keluarga adalah tulang punggung masyarakat. Slogannya:
Keluarga kuat berarti masyarakat kuat. Kita lupa bahwa konsep keluarga telah
mengalami banyak perubahan sepanjang sejarah. Keluarga yang kita kenal sekarang
ini hanyalah keluarga inti, yaitu satu ayah, satu ibu, dan anak-anak. Kita lupa
bahwa di masa lalu tidak begitu. Keluarga besar (extended family) tinggal
bersama dalam satu rumah. Paman dan bibi, kakek dan nenek, sepupu dan
keponakan, semua berinteraksi sangat intensif. Di masa depan mungkin sekali
single parent family menjadi bentuk yang paling umum. Bisa saja kan? Masih
banyak contoh lain yang tidak mungkin dipaparkan di sini satu per satu:
perbudakan, diskriminasi ras, emansipasi perempuan, dll.
Keyakinan
kita tentang apa yang benar dan salah telah banyak bergeser dari apa yang
tertulis secara harafiah di Alkitab. Makanya saya berharap kita tidak terkejut
jika apa yang kita yakini sekarang akan (dan harus) berubah di masa depan.
So, anything goes?
Jadi
bagaimana dong? Apakah ini berarti kita bebas melakukan apa saja, karena toh
Alkitab tidak menyediakan aturan baku tentang seks? Boleh seenaknya dan
sesukanya? Apakah nantinya tidak hancur masyarakat ini?
Justru
sebaliknya! Kita sebagai orang Kristen harus lebih berhati-hati dan rajin
mendalami Alkitab. Kita tidak bisa lagi dengan mudah mengatakan “pokoknya
Alkitab bilang itu dosa”. Kita tidak bisa lagi memperlakukan Alkitab seperti
buku manual, atau buku kitab peraturan lalu lintas. Alkitab harus kita pahami,
maknai, renungkan, dan terapkan dengan hati-hati sesuai konteks dan zamannya.
Kita harus mencari apa maksud Tuhan dibalik kisah-kisah Alkitab, bukan secara
sederhana mengutip dan meniru apa yang tertulis di sana. (Selengkapnya bisa
dibaca di artikel ‘Mitos Agensi Tekstual’ di blog ini.)
Tentang isu marriage equality di New Zealand
Beberapa
bulan ini topik pernikahan homoseksual lagi hot di New Zealand. Pemerintah
sedang mempertimbangkan mengganti undang-undang pernikahan agar pasangan
homoseksual bisa menikah secara sah, bukan cuma civil union seperti selama ini.
Debat-debat pun mengemuka antara pihak yang pro vs kontra.
Pendapat
saya, kita tidak perlu terjebak dalam dua pilihan pro vs kontra sambil saling
ngotot, marah, dan saling mengejek. Di zaman ini kita tidak bisa membuat semua
orang memiliki pandangan yang sama, bukan? Ada orang yang meyakini Yesus adalah
Putra Allah, ada yang meyakini Muhammad adalah rasul Allah. Tidak bisa dipaksa
untuk saling sepakat. Nah, tugas pemerintah adalah memastikan orang-orang yang berkeyakinan
beda ini bisa hidup bersama dengan damai. Saya mengusulkan pemerintah menarik
diri dari urusan pernikahan, sama seperti pemerintah (New Zealand dan
kebanyakan negara barat lain) menarik diri dari urusan agama. Agama tidak
diatur oleh negara. Orang boleh meyakini apapun tentang Tuhan, boleh beribadah
dengan cara apapun, selama tidak membunuh orang lain, tidak bunuh diri bersama,
tidak menyiksa orang lain, tidak bikin keributan, dan tetap membayar pajak
tentunya. Demikian juga usulan saya tentang pernikahan. Biarlah pernikahan
menjadi urusan pribadi/gereja/keluarga masing-masing. Tugas berat pemerintah
adalah merevisi undang-undang lain seperti undang-undang adopsi, pajak, visa,
dan lain-lain tanpa melibatkan pernikahan.
Bacaan lebih lanjut:
Holben, L. R. (1999). What Christians think about homosexuality: Six representative
viewpoints. Bibal Press.
Sayler, G. B. (2005). Beyond the Biblical
impasse: Homosexuality through the lens of theological anthropology. Dialog: A Journal of Theology, 44(1),
81-89.
Wijaya Mulya, T. (in press). Exploring same-sex attaction in
Indonesian churches: Teachings, attitudes, and experiences. ANIMA Indonesian Psychological Journal.
Wink, W. (1979). Homosexuality and the Bible. Christian Century Magazine. Diunduh
dari: http://www.bridges-across.org/ba/winkhombib.htm
Shallom, saya salut dengan pengetahuan anda tentang alkitab. Tapi kalau saya boleh memberi saran sebagai sesama pengikut Kristus, sebelum anda membagikan pengetahuan anda kepada dunia, pertanyakan dulu keyakinan anda kepada Tuhan Yesus sendiri. Di hari hari akhir jaman ini sudah cukup banyak filosofer dunia yang menawarkan banyak teori yang terdengar baik tetapi bukan kebenaran sejati. Apa yg anda pertanyakan itu sebenarnya bukan anda tujukan kepada pembaca, tetapi kepada Tuhan Yesus sendiri. Seolah olah anda menantang Tuhan tentang kebenaran dan konsistensi dari isi buku yg sudah Dia tulis karena kasihNya kepada dunia ini. Saya tidak membenci orang yang menyukai sesama jenis, tetapi saya tidak setuju dengan pilihan hidup mereka karena itu akan menghalangi mereka untuk bisa membangun kehidupan rohani mereka dengan Tuhan. Saya hanya berharap apa yang sudah anda mulai dengan tujuan baik tidak berakhir sia sia seperti Raja Saul. Tuhan Yesus memberkati.
ReplyDeletemenurut saya kita harus fair. Saya bekerja di bidang Legal di sebuah perusahaan. Saya menemukan bahwa Alkitab tidak sama dengan kitab undang-undang pidana atau perdata. Dalam kitab undang-undang semuanya ditulis dengan sangat jelas mana yang dilarang, mana yang diperbolehkan, meskipun adapula hal yang tidak diatur. Sementara kalau anda baca Alkitab maka kita akan menemukan sebagian besar Alkitab lebih mirip sebagai narasi besar yang menceritakan kasih Allah pada dunia bukan sebagai sekumpulan aturan undang-undang. Meskipun saya sendiri tidak setuju dengan semua yang dikatakan penulis. Namun kita harus jujur, dalam banyak hal orang Kristen tidak konsisten menggunakan Alkitab.
Delete