Friday, 8 March 2013

Mengenal Abraham Kuyper dan Neo-Calvinisme



Tidak banyak teolog yang pernah menjadi pemimpin tertinggi di sebuah negara/pemerintahan. Di antara yang tidak banyak itu, Abraham Kuyper adalah salah satunya. Kiprahnya di dunia politik, jurnalistik, pendidikan, dan teologi membawa pengaruh besar bagi negeri Belanda. Dalam tulisan ini kita akan mengenal siapa Abraham Kuyper dan pemikiran Neo-Calvinisme yang diwariskannya. Semoga lewat sosok Kuyper ini kita bisa terinspirasi untuk benar-benar mempraktikkan iman kita di dalam dan luar tembok gereja.
Siapa sih Abraham Kuyper itu?
Lahir di Maassluis, Belanda 29 Oktober 1837, Abraham Kuyper sering disebut sebagai seorang jenius yang luar biasa produktif dan tak mengenal lelah. Setelah menyelesaikan studi doktoralnya di bidang Sacred Theology di Leiden University, Kuyper memulai pelayanannya di kota Beesd, kemudian Utrecht, dan Amsterdam. Ia juga menjadi editor kepala koran harian De Standaard (The Standard) dan koran Kristen mingguan De Heraut (The Herald) selama lebih dari 45 tahun. Di dunia politik, ia adalah anggota parlemen, pendiri partai politik Anti-Revolutionary, perdana Menteri Belanda tahun 1901-1905, dan kemudian menjadi Minister of State. Selama menjabat perdana menteri ia melakukan reformasi pendidikan di Belanda dan mendirikan Free University of Amsterdam. Sumbangan pemikirannya sebagai seorang teolog ia tuangkan dalam tulisan-tulisannya; termasuk 306 artikel di kolom “Of The End of The World” di mingguan De Heraut. Di ulang tahunnya yang ke 70 disebutkan bahwa “The history of The Netherland, in Church, in State, in Society, in Press, in School, and in the Sciences of the last forty years, cannot be written without the mention of his name.”
Pandangannya yang tajam dan komprehensif tentang Calvinisme membuat ia diundang menyampaikan kuliah di Princeton Theological Seminary di Amerika Serikat. Dari sanalah buku Lectures on Calvinism dirangkum dan dipublikasikan secara luas sebagai salah satu karya terpenting untuk memahami Neo-Calvinisme.
Calvinisme dan Neo-Calvinisme: Apa bedanya?
And why did we, Christians, stand so weak, in the face of this modernism?
Why did we constantly lose ground?
Simply because we were devoid on an equal unity of life-conception
~ Abraham Kuyper, Lectures on Calvinism, p. 19.

Calvinisme banyak dikenal dan dipopulerkan lewat lima poin yang biasa disingkat TULIP, yaitu Total depravity, Unconditional election, Limited atonement, Irresistible grace, dan Perseverance of the saints. Kelima poin ini menjelaskan keselamatan menurut iman Kristen. Dimulai dengan kondisi manusia yang tak berdaya terbelenggu dosa, pilihan Tuhan atas orang-orang tertentu untuk mendapat anugerah keselamatan tanpa syarat melalui karya penebusan Yesus, dan orang-orang yang sudah terpilih itu akhirnya akan sepenuhnya bebas dari dosa di kehidupan kekal.
Saking populernya lima poin itu, Calvinisme banyak disalahpahami sebagai doktrin soteriologis (doktrin tentang keselamatan) belaka. Padahal Calvinisme jauh lebih luas dan dalam. Para tokoh Neo-Calvinisme mengidentifikasi reduksionisasi ini, dan berusaha mengangkat kembali aspek kosmologis Calvinisme; bahwa Yesus adalah Tuhan atas seluruh alam semesta, Tuhan atas teologia dan matematika, atas sejarah dan budaya, atas gereja dan negara.
Kuyper menyebut Calvinisme sebagai “a life system”. Maksudnya, Calvinisme bukan sekadar teori tentang keselamatan, Tuhan, atau agama. Calvinisme adalah penjelasan tentang kehidupan secara lengkap dan menyeluruh. Calvinisme menjawab pertanyaan ontologis (siapa manusia itu, dari mana ia datang, kemana ia akan pergi, apa tujuannya di dunia ini), etika (apa itu benar dan salah, baik dan buruk, bagaimana manusia berperilaku dalam masyarakat), kebahagiaan, kebebasan, dan juga kemanusiaan. Tentunya dari persepektif Alkitab. Kuyper menganggap pengertian tentang ini adalah dasar untuk memahami hal-hal lain. Itu sebabnya ia meletakkannya di bab pertama buku Lectures on Calvinism. Bab-bab selanjutnya adalah konsekuensi dari bab pertama ini, yaitu kaitan Calvinisme dengan agama, politik, sains, dan seni.
Calvinisme bagi Kuyper adalah titik awal untuk memahami tiga relasi dasar manusia: (a) relasi dengan Tuhan, (b) relasi dengan sesama manusia, dan (c) relasi dengan dunia. Dalam relasi dengan Tuhan, Calvinisme menunjukkan bahwa hubungan kita sifatnya langsung, tidak perlu diperantarai oleh gereja atau pendeta. Dalam relasi dengan sesama, kesadaran bahwa manusia adalah gambar dan rupa Allah menjadi dasar untuk memperlakukan sesama kita dengan adil dan cinta kasih. Dalam relasi dengan dunia, pengertian bahwa dunia ini adalah anugerah (yang ternodai oleh dosa) menjadi titik tolak kita untuk selalu menjaga, merawat, dan mengembangkan potensinya.
Sayangnya, kapasitas Kekristenan sebagai kepercayaan dasar yang memengaruhi dan membentuk seluruh aspek kehidupan telah digeser oleh modernisme. Obsesi pada rasionalitas, sains, teknologi, dan kebebasan individu merasuki seluruh aspek kehidupan sosial masyarakat. Kekristenan terpojokkan ke ruang dan waktu yang sangat sempit: di gedung gereja, satu hari dalam seminggu, dan aktivitas ritualistik yang itu-itu saja. Ironisnya, yang menjadikannya seperti itu adalah … kita sendiri! Tepatnya kacamata kuda yang kita pakai untuk memandang iman kita.
Pokok pemikiran Neo-Calvinisme
Asumsi-asumsi dasar Neo-Calvinisme sebenarnya tidak asing ditelinga kita. Pertama, Yesus adalah Tuhan atas segalanya. Ia berdaulat atas setiap detik sejarah, setiap sentimeter alam semesta, setiap mahluk di ujung dunia. Ia berkuasa atas orang-orang percaya, orang-orang tidak percaya, binatang, tumbuhan. Ia menciptakan dan mengendalikan semua.
Kedua, semua ciptaanNya adalah “sangat baik”. Manusia diberi tugas yang amat mulia untuk menjaga dan merawat ciptaan itu (Kejadian 1:28 dan 2:15), atau yang sering disebut sebagai mandat budaya (cultural mandate). Tugas ini diberikan bahkan sebelum manusia jatuh dalam dosa. Ciptaan harus senantiasa diolah dan dikembangkan. Oleh karena itu Kuyper sangat menghargai bagaimana dunia berkembang sepanjang sejarah; menjadi lebih maju, dinamis, rumit, dan beragam.
Ketiga, kejatuhan dalam dosa tidak hanya mengakibatkan hilangnya persekutuan kekal manusia dengan Allah yang kudus, namun juga termanifestasi dalam struktur kehidupan sosial masyarakat. Penindasan, ketidakadilan, kejahatan, perusakan lingkungan adalah sebagian di antaranya. Untuk mengurangi kehancuran akibat dosa pada ciptaanNya, Tuhan memberikan anugerah umum (common grace) berdampingan dengan anugerah khusus yaitu keselamatan bagi mereka yang terpilih. Orang-orang percaya dan tidak percaya mendapat anugerah sinar matahari yang sama, mendapat oksigen yang sama, mendapat air yang sama. Sains, pemerintah, ilmu medis, sistem hukum, dan mekanisme ekonomi juga dapat dipandang sebagai bagian dari anugerah umum ini. Orang Kristen tidak otomatis manjadi kaya raya, mendapat kekebalan hukum, atau sepenuhnya terbebas dari sakit penyakit. Orang Kristen dan non-Kristen sama bergantung pada anugerah umum.
Keempat, karya penebusan Kristus tidak hanya ditujukan untuk keselamatan pribadi, namun juga penebusan alam semesta. Segala ciptaan yang pada mulanya “sangat baik” ikut mengalami kejatuhan akibat dosa, sehingga penebusan Kristus juga ditujukan untuk memulihkan alam dan masyarakat. Kuyper mengatakan: “The curse should no longer rest upon the world itself, but upon that which is sinful in it.” Tugas orang Kristen bukan hanya menikmati keselamatan diri sendiri dan menambah anggota gereja, namun mentransformasikan seluruh ciptaan. Mandat budaya sama pentingnya dengan mandat Injil. Pelayanan kita bukan saja lewat aktivitas gerejawi, tetapi lewat seluruh aspek kehidupan. Kuyper cukup keras dalam hal ini:
“Wherever man may stand, whatever he may do, to whatever he may apply his hand, in agriculture, in commerce, and in industry, or his mind, in the world of art, and science, he is, in whatsoever it may be, constantly standing before the face of his God, he is employed in the service of his God … A religion confined to the closet, the cell, or the church, therefore, Calvin abhors.”
Tidak ada hal yang sama sekali baru dalam pokok pemikiran Neo-Calvinisme ini: Kemahakuasaan Tuhan, mandat budaya, anugerah umum, dan penebusan seluruh ciptaan. Pertanyaannya sekarang, bagaimana penerapannya dalam konteks kita? Sudahkah semangat transformasi budaya ini membudaya di gereja-gereja masa kini?
Neo-Calvinism bagi kita: Relevansi dan aplikasi
All basic human liberties stem from Calvinism as a political theory.
~ Abraham Kuyper

Abraham Kuyper dijuluki “Abraham the Terrible” oleh lawan-lawan politiknya karena keberaniannya menentang arus zaman. Ia meyakini bahwa otoritas duniawi haruslah meniru otoritas Tuhan yang memandang semua manusia sebagai gambar dan rupaNya. Oleh karena itu negara harus memperlakukan semua warga dengan adil dan setara. Kuyper menentang segala bentuk diktator dan tirani oleh sekelompok kecil orang, baik itu kelompok borjuis (yang membuatnya dibenci oleh partai liberal), maupun kelompok buruh (yang membuatnya dibenci oleh partai sosialis).
Ia juga dimusuhi oleh kelompok Kristen konservatif, karena ia menolak ide teokrasi (negara berdasarkan satu agama), memperjuangkan pemisahan negara dan gereja, serta tidak ragu bergabung dengan kelompok-kelompok radikal. Ia meyakini bahwa Tuhan memberikan bentuk pemerintahan yang berbeda-beda di setiap zaman dan teokrasi hanya relevan di konteks Israel kuno. Ia bergabung dengan siapa saja yang ia anggap memiliki visi kesejahteraan sosial yang sama, terlepas dari agama dan label mereka. Ia percaya anugerah umum diberikan pada semua orang untuk bersama-sama bekerja menuju masyarkat yang lebih baik.
Kuyper ditentang oleh mayoritas anggota parlemen ketika ia memunculkan ide kemerdekaan bagi Indonesia yang kala itu masih dijajah Belanda. Ia berargumen: “Indonesia is a separate sphere, and must be helped to develop in its own way.” Dengan Calvinisme sebagai teori politisnya, Kuyper bergerak untuk mentransformasi budaya sebagai praktik imannya.
Bagaimana dengan kita? Zaman sekarang tentu berbeda dengan zaman Kuyper, sehingga tugas kita adalah menerjemahkan semangat Neo-Calvinisme dalam konteks kita saat ini. Misalnya, kita bisa memulai dengan bertanya:

  • Apa manifestasi dosa di masyarakat masa kini? Di tingkat individual? Sosial? Global? 
  • Apa filsafat dunia yang telah merasuki alam bawah sadar kita? Konsumerisme? Rasisme? Patriarki? 
  • Jika Kuyper mengatakan “Liberate the Church (from the State and the Synod)”, maka gereja kita saat ini perlu “dibebaskan” dari apa? Legalisme? Egosentrisme? Materialisme? Hedonisme? Neoliberalisme? 
  • Bagaimana dengan praktik iman kita secara pribadi? Sudahkah seluruh hidup kita menjadi penyembahan? Ataukah hanya hari minggu? Hanya 10% dari harta kita? Hanya berfokus pada keselamatan individual dan aktivitas gerejawi belaka? 
  • Seberapa peduli kah kita pada isu lingkungan hidup, kemiskinan, kekerasan, human trafficking, HIV/AIDS? Atau kita bertahan pada mentalitas “bukan urusan saya”? Tidak ada hubungannya dengan iman saya?

David Bosch merangkum panggilan misionaris Neo-Calvinism di zaman kita sebagai berikut:
to ask questions about the use of power in our societies, to unmask those that destroy life, to show concern for the victims of society while at the same time calling to repentance those who have turned them into victims, and to articulate God's active wrath against all that exploits, squanders, and disfigures the world for selfishness, greed and self-centered power.
Tentunya kita tidak perlu terjebak pada impian heroik untuk mengubah dunia (atau bahkan mengubah gereja). Mungkin lebih baik dan lebih langgeng jika kita perlahan-lahan mengubah diri sendiri, mengubah cara kita memandang karya penebusan, cara kita menghabiskan waktu luang, cara kita membaca dan memperhatikan isu-isu tertentu, cara kita berbelanja, cara kita memberi untuk amal, cara kita terlibat aksi sosial, dan seterusnya…
Penutup
Neo-Calvinisme bukanlah teologi sempurna tanpa kritik. Ia sering dikritik karena mengabaikan penginjilan pribadi akibat terlalu berfokus pada keadilan sosial. Walaupun sulit, mandat budaya dan mandat Injil tentu harus selalu diusahakan berjalan berdampingan. Abraham Kuyper, meskipun diakui sebagai tokoh besar, juga banyak dikritik karena pemikirannya yang fragmentaris dan visinya yang sulit dipraktikkan secara riil.
Artikel singkat ini akan diakhiri dengan kutipan inspiratif dari Michelle Obama dalam pidatonya di konferensi African Methodist Episcopal Church bulan Juni 2012 yang lalu:
“Our faith journey isn’t just about showing up on Sunday for a good sermon and good music and a good meal.  It’s about what we do Monday through Saturday as well. It’s especially in those quiet moments, when the spotlight’s not on us, and we’re making those daily choices about how to live our lives. We see that in the life of Jesus Christ. Jesus didn’t limit his ministry to the four walls of the church. We know that. He was out there fighting injustice and speaking truth to power every single day. He was out there spreading a message of grace and redemption to the least, the last, and the lost. And our charge is to find Him everywhere, every day by how we live our lives. That is how we practice our faith. You see, living out our eternal salvation is not a once-a-week kind of deal.”

Sumber-sumber untuk dibaca lebih lanjut

Karya asli Kuyper:

  • Kuyper, A. (1931). Lectures on Calvinism. Grand Rapids: Eerdmans Publishing.

 Literatur akademik:

  • Bratt, J. D. (2007). Abraham Kuyper’s Calvinism. In E. Dommen & J. D. Bratt (Eds.), John Calvin rediscovered: The impact of his social and economic thought (pp.79-92). Louisville: Westminster John Knox Press. 
  • Hexham, I. (1983). Christian politics according to Abraham Kuyper. CRUX, 19(1), 2-7. 
  • Jellema, D. (1957). Abraham Kuyper’s attack on liberalism. The Review of Politics, 19(4), 472-285. 
  • van der Kroef, J. M. (1948). Abraham Kuyper and the rise of Neo-Calvinism in the Netherland. Church History, 17(4), 316-334. 
  • Young, W. (2011). Historic Calvinism and Neo-Calvinism. Diunduh 18 September 2012, dari http://www.westminsterconfession.org/the-doctrines-of-grace/historic-calvinism-and-neo-calvinism.php

 Webpage singkat:


 Resource webpage:



~//~

2 comments:

  1. Wah tulisan yang bagus soro ko. aq udah baca semua tulisanmu. Tulisanmu seperti air yang menyegarkan kerinduanku pada pemikiran kritis, yang saat ini sudah jarang aq rasakan di Jurusan Manajemen. Semoga tulisanmu terus membuat orang berpikir kritis

    ReplyDelete
  2. Terimakasih ulasannya, tulisan ini baru saja saya link-kan ke mahasiswa-mahasiswa Kristen di tempat saya dan Juliet Liunardi dulu belajar.

    ReplyDelete