Kalau
yang dimaksud penginjilan adalah menyampaikan kabar baik supaya orang menerima
Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat secara pribadi, saya enggan menginjil!
Lewat tulisan ini saya akan menjelaskan bagaimana pemahaman iman saya sehingga
tiba pada keengganan itu.
Mengapa kita menginjil?
Saking
familiarnya bagi kita, kita sampai lupa menanyakan mengapa kita menginjil. Benarlah
kata pepatah bahwa the familiar is poorly known. Coba renungkan sebentar
pertanyaan sederhana ini: Mengapa kita percaya bahwa orang Kristen harus
memberitakan kabar keselamatan dalam Yesus pada semua orang?
Saya
duga jawaban yang pertama melintas adalah karena itu perintah Yesus. Yesus sendiri
yang memerintahkan kita untuk “menjadikan semua bangsa muridKu” bukan? Di Matius
28: 19-20 kan sudah jelas sekali. Alasan lain yang sering muncul adalah kalau
kita mengasihi sesama, maka kita tidak mau orang lain mengalami penderitaan
kekal di neraka. Makanya penting sekali untuk mengenalkan Yesus pada mereka. Toh
kita sudah menerima keselamatan dengan cuma-cuma, mengapa tidak membagikan
kabar teramat baik ini ke orang lain juga?
Bagi
saya bukan itu alasan utama kita menginjil. Kita menginjil karena gereja
membutuhkan lebih banyak jemaat dan lebih banyak uang. Politis dan ekonomis. Simpel
dan terdengar agak sinis? Mungkin, tapi realistis kan? Gereja juga perlu sumber
daya dong. Kalau ngga ada jemaat, ngga ada yang memberi persembahan; bagaimana
pendeta bisa digaji, bagaimana listrik bisa dibayar, bagaimana gedung bisa
dipelihara? Jangan lupa bahwa berusaha mendapatkan sumber daya guna membangun
jemaat itu tidak dosa lho! Lha mencari uang untuk beli gadget tercanggih,
shopping baju model terbaru, dan makan-makan di resto mahal aja ngga dosa koq. Apalagi
cari uang untuk membangun gereja. Sebuah niatan yang baik kan.
Masalahnya,
niatan baik itu sering dipercantik dengan kosmetik rohani; bahwa Yesuslah yang
mengharuskan kita, bahwa kita anak yang keterlaluan kalau ngga mau membantu
Bapaknya, bahwa seluruh malaikat bersorak-sorai ketika kita mendapatkan satu
jiwa, bahwa menginjil adalah misi terpenting kita sebagai orang percaya. Terdengar
familiar? Sangat familiar bagi saya. Yuk kita telaah lebih dekat…
Siapa bilang Matius 28:19-20 adalah Amanat
Agung?
Alkitab
tidak pernah menyebut Matius 28: 19-20 sebagai Amanat Agung. Lalu mengapa kita
sangat percaya bahwa itu adalah tugas yang sungguh penting hingga perlu
ditahbiskan sebagai Amanat Agung? Entahlah. Dan nyatanya, tidak semua orang
Kristen setuju itu adalah Amanat Agung lho. Coba tanyakan ke orang Kristen penganut
teologi dispensasi (yang meyakini setidaknya ada dua Injil: Injil Kerajaan
untuk Israel jasmani dan Injil Anugerah untuk kita). Bagi mereka, “Amanat
Agung” ada di 2 Korintus 5: 14-21, bukan di Matius 28 (kalau penasaran, silahkan
dibaca: http://www.matthewmcgee.org/2gospels.html#Great).
Lalu
mengapa perintah Yesus di Matius 28:19-20 ini dipilih secara khusus dan bahkan diulang-ulang
oleh gereja? Mengapa koq bukan perintah yang lain? Misalnya perintah Yesus
untuk “melakukan sesuatu bagi saudara yang paling hina ini”? Ketaatan kita terhadap
perintah ini menjadi dasar memisahkan domba dan kambing lho. Dan para kambing
akan dilempar ke tempat penuh ratapan dan kertak gigi tuh. Mengapa ini diabaikan?
Mengapa kita seenaknya pilih-pilih mana ajaran Yesus yang lebih penting dan
tidak?
Tenang
saja.. bukan salah kita koq, kita dibuat percaya demikian. Kembali ke dugaan
saya semula, semua ini karena perintah tertentu memberikan manfaat strategis
dan ekonomis bagi gereja. Makanya perpuluhan (yang tidak pernah diperintahkan
oleh Yesus, Petrus, Paulus, Yohanes, dan semua penulis Perjanjian Baru) tetap saja mendapat perhatian super penting
dari gereja!
Membaca Yohanes 14:6 lebih dekat
Sekarang
alasan kedua: bahwa kita tidak ingin sesama kita menderita di neraka. Coba
direnungkan sejenak, klaim ini sebenarnya berlandaskan keyakinan bahwa mereka
yang tidak menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat secara pribadi PASTI
dipanggang di api neraka. Ini merujuk ke penganut agama lain: orang Muslim,
Budha, Hindu, dst. Hmm.. apa iya begitu yah? Bagaimana dengan mereka yang tidak
pernah mendengar tentang Yesus? Gimana dengan orang-orang yang hidup di zaman
sebelum Yesus? Gimana dengan orang-orang yang tidak pernah melakukan praktik
“menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadi” seperti misalnya orang
Israel di zaman Musa?
Tapi
bagaimana dengan Yohanes 14:6? Di sana jelas-jelas ditulis bahwa Yesus adalah satu-satunya
jalan, kebenaran, dan hidup; tidak ada seorangpun yang datang ke Bapa tanpa
melalui Yesus. Apa masih bisa diragukan bahwa Yesus adalah satu-satunya jalan
ke surga?
Setelah
sekian lama mencoba memahami maksud ayat ini, saya menemukan tulisan singkat
Brian McLaren menjawab kebingungan saya. Ia adalah pendeta di Cedar Ridge
Community Church di Maryland, Amrik. Tahun 2005 ia dinobatkan sebagai satu dari
25 most influential Christian leaders in America oleh majalah Times.
Tulisan-tulisannya banyak berfokus pada konsep emerging church dan postmodern
Christianity (makanya saya suka!). Tulisannya tentang Yohanes 14:6 bisa
didownload di sini: http://www.brianmclaren.net/emc/archives/McLaren%20-%20John%2014.6.pdf
Brian
berargumen kalau Yoh 14:6 banyak dibaca secara ngawur sehingga makna yang
dipahami saat ini sama sekali berbeda dengan konteksnya. Coba direnungkan,
bagaimanakah sebenarnya situasi saat Yesus mengatakan ayat 6 itu? Apakah saat
itu Yesus sedang berbicara tentang orang Muslim, Budha, Hindu, Sikh, Zoroaster,
atau atheists? Atau orang-orang kafir yang tidak mau percaya pada ajaran Yesus
kala itu? Atau sedang mengutuki orang Farisi dan ahli Taurat? Dugaan saya, banyak
orang Kristen tidak ingat, atau tidak tau, atau tidak peduli bagaimana
konteksnya. Yang terpenting, ayat itu menegaskan siapa yang percaya Yesus masuk
surga, yang lain dipanggang. Titik.
Brian
mengajak kita menelaah perlahan-lahan situasi saat Yesus mengatakan itu. Yuk
kita bayangkan suasananya sejak pertengahan pasal 13. Saat itu hari sudah
malam, Yesus duduk bersama murid-muridnya menikmati perjamuan makan terakhir.
Coba Anda menjadi Yesus. Tiga tahun belakangan tidak pernah pulang rumah,
berkelana bersama 12 orang yang selalu setia, makan bersama, tidur bersama,
mandi bersama, bertamu ke rumah orang bersama, kena badai bersama, mengusir
setan bersama, dicerca orang Farisi bersama. Yesus tau sebentar lagi mereka
akan berpisah selamanya. Makanya di tengah-tengah perjamuan itu Yesus ngga mampu
menahan kesedihannya dan berkata: “Salah satu dari kamu akan mengkhianatiku.”
Murid-murid kaget, menanyakan siapa gerangan. Yesus menjawab orang yang diberi
roti setelah Ia mencelupkannya. Tapi murid-murid tetap ngga mengerti. Bahkan
saat Yudas pergi pun murid-murid tidak mengerti siapa yang akan berkhianat.
Yesus
melanjutkan dengan supersedih: “Guys, ini tinggal sebentar lagi Aku sama-sama
kalian. Aku mau pergi ke sebuah tempat. Tapi kamu ngga bisa ikut pergi ke sana.
Tolong kamu saling mengasihi ya, biar dunia bisa liat kalo kamu itu
murid-muridKu.” Petrus bertanya: “Lho, Guru, kamu mau ke mana?” Yesus ngga bisa
jawab terus terang, Dia hanya berkata: “Sudahlah, kamu ngga bisa ikut Aku
sekarang. Tapi nanti suatu hari kamu akan ikut Aku.” Petrus ngga terima: “Lho,
kenapa aku ngga bisa ikut kamu sekarang, Guru? Aku lho siap mati untukMu!”
Yesus nyengir kecut: ”Oyah? Beneran? Kurang dari 12 jam dari sekarang kamu lho
bakalan bilang ngga kenal aku. Tiga kali!”.
Sekarang
coba bayangkan jadi murid-murid. Bayangkan Anda adalah nelayan, pemungut cukai,
atau penjual bakso. Tiga tahun setia mengikuti seorang guru yang Anda cintai,
agungkan, dan harapkan membebaskan negeri Anda dari penjajah; sekarang Ia
bilang mau berpisah tanpa kejelasan. Dia bilang akan ada yang mengkhianatiNya,
kemudian Dia pergi tanpa bisa diikuti. Ketika ketua kelas Anda yang pemberani
berkata bahwa ia tetap mau ikut sang Guru bahkan siap mati, Guru Anda malah berkata
bahwa si ketua kelas ini bakal menyangkal sang Guru tiga kali. Bingung ngga sih?
Gelisah, gundah gulana, campur aduk. Pasal 13 berakhir di sini.
Pasal
14 ayat pertama. Yesus melihat raut wajah murid-murid yang bagai nasi pecel
itu, bingung juga Yesus… gimana mau menjelaskan pengetahuannya yang seluas
samudra ke 11 orang rakyat jelata ini? “Gini-gini deh..sudah kalian ngga usah
bingung ya. Percaya sama Tuhan, percaya sama Aku juga, ok? Aku itu mau pergi ke
rumah PapaKu. Di sana rumahnya besaaaaar. Aku ke sana menyiapkan kamar-kamar
buat kalian. Jadi suatu saat nanti kalian bisa selalu bersama-sama Aku. Kalian
lho sudah tau jalannya ke sana kan.”
Thomas
yang lumayan rasional itu pun segera menanggapi: “Sebentar-sebentar, Guru, kita
lho ngga tau Guru mau kemana, koq bisa bilang kita sudah tau jalan ke sana
toh?” Lalu Yesus pun menyampaikan mantra saktinya (yang membuat peperangan,
kekerasan, konspirasi, dan permusuhan umat Kristen dengan agama lain): “Walah,
murid-muridku sayangku cintaku, ya Aku ini lho jalannya! Ngga ada orang bisa ke
Bapa kalo ngga lewat Aku! Kalo kalian sudah kenal Aku, kalian ya sudah kenal
Bapa itu sendiri. Inget-inget ya, pokoknya mulai sekarang kalian itu sudah
kenal Bapa. Bahkan sudah ngeliat sendiri Bapa itu kayak apa.”
Filipus
ikutan sok rasional: “Guru, kalo begitu tolong tunjukkan Bapa itu ke kita! Kita
pasti lega kalo sudah ditunjukkan.” Yesus rada putus asa: “Es-we-te kamu
Filipus.. sudah sekian lama kenal Aku koq gak ngerti-ngerti juga toh..
Bisa-bisanya kamu minta ditunjukkan Bapa itu kayak apa. Kamu ngga percaya kah
kalau Bapa itu di dalam Aku, Aku di dalam Bapa. Kalo kamu sulit nerima ini,
coba liat mujizat-mujizat yang sudah Kulakukan. Sudah lah, kalau kalian percaya
Aku, kalian juga bisa melakukan hal-hal besar kayak gitu.” Filipus pun diam
seribu bahasa.
Jadi
apakah orang yang tidak mengaku bahwa Yesus adalah Tuhan akan dipanggang di
oven neraka? Mungkin.. tapi sangat jelas bagi saya bahwa Yohanes 14:6 tidak
mengatakan hal itu. Yesus sedang mengatakan pada murid-muridNya tentang percaya
sepenuhnya (trust) pada Dia, tidak usah mencari-cari
cara/informasi/liturgi/metode/jalan yang bisa ditelusuri supaya bisa mencapai
Tuhan. Jelas Yesus tidak sedang berbicara tentang bangsa-bangsa lain atau
agama-agama lain.
Membangun Kerajaan Allah di bumi
Lalu
apa konsekuensi dari pemahaman ini? Tentunya cara saya memandang iman Kristen harus
berubah. Agama Kristen bagi saya tidak bisa lagi menjadi sebuah persamaan
matematika yang berakhir dengan “surga” setelah tanda sama dengan. Kekristenan
bukanlah silogisme yang premis-premisnya adalah doktrin-doktrin dan konklusinya
adalah keselamatan. Kita suka dengan silogisme, karena bisa diperiksa alur
logikanya sehingga bisa menjadi senjata untuk menyatakan agama lain salah.
Bagi
saya kekristenan bukanlah agama yang paling “benar”. Yesus tidak pernah
mengajarkan hal itu. Bagi saya Yesus tidak mengajarkan teologi yang sistematik,
komprehensif, rasional, dan utuh supaya bisa dibuktikan kebenarannya melawan
agama lain. Atau untuk memuaskan nalar kita yang rindu kepastian ilmiah tentang
Tuhan. Mungkin iman kita lebih merupakan produk filsafat teologi abad modern
daripada ajaran Yesus.
Bagi
saya, Yesus mengajarkan sebuah gaya hidup. Sebuah relasi. Sebuah praktik, yang
harus dikembangkan setiap hari. Ia memberikan teladan cinta kasih yang nyata. Ia
menunjukkan apa makna hidup. Ia memeluk anak-anak. Ia mencaci maki orang
Farisi. Ia membalik meja pedagang kaki lima di Bait Allah. Ia mati di kayu
salib. Ia tidak memakai slogan-slogan populis “7 langkah mudah mengenal Tuhan”,
atau slogan konsumeris “rahasia hidup bahagia-kaya-raya-masuk-surga”, atau slogan
otoritarian “yakinilah ini, maka semua yang lain salah”.
Jadi
apakah kita tidak perlu menginjil? Kalau menginjil diartikan secara teramat
sederhana sebagai mengajak/memaksa/memanipulasi orang supaya tertarik pada
Yesus, kalau perlu dengan metode psikologis yang canggih, mempelajari celah
kelemahan agama-agama lain, memberikan perhatian dan kasih sayang, musik yang
bagus, KKR yang megah, janji-janji kelimpahan materi, kesembuhan dari penyakit,
atau kebahagiaan kekal; maka bagi saya itu bukan penginjilan.
Menginjil
bagi saya adalah membangun kerajaan Allah di bumi. Ini tidak sama dengan menjadikan
semua orang di dunia beragama Kristen. Menginjil lebih asik dari itu! Menginjil
tidak harus egois, politis, dan ekonomis. Menginjil adalah menjadikan kehendak
Allah terwujud di bumi, persis seperti di surga. Membangun masyarakat yang
sehat dan berkeadilan, menjalin hubungan penuh damai dengan kelompok yang
berbeda, memperjuangkan pemerintahan yang bersih dan bertanggungjawab, mempraktikkan
gaya hidup ramah lingkungan, menyapa dan memperlakukan ‘orang kecil’ dengan
hormat, menguatkan sahabat yang lemah, memeluk anak dengan penuh kasih, memijat
punggung kekasih yang kecapaian.. Bukankah itu semua yang Yesus teladankan?
Komentar dari Bpk Ishak Natan, salah seorang majelis grj St Andrews, tentang artikel ini:
ReplyDeletewww.geocities.ws/inatan/TeguhEngganMenginjil.html
Teguh,
ReplyDeleteYou probably see it as extremes. Why condemn those who spread the gospel for their own good? For political, economical, or whatever purposes? It’s not our job to judge them.
I am sure there are others who do good to others without imposing their faith but they still do it because they love God and others. Yes, I agree that we shall love others and fight for justice for those who are oppressed, but that does not mean that we don’t have to spread the gospel. After all, we have to be ready to testify our faith if they ask why we’re doing what we do. Would you cover the truth if people wanna hear it?
There are a lot of verses in the bible that taught us to practice our faith. Why see it as two separate ways? Why see it as if you spread the gospel you cannot be a person who show love to the poor and oppressed? Why don’t we be both? After all, we can’t really impose our faith to others, as those who are not chosen won’t believe.
I know you respect the work of CAP and support their work because they care for the poor and oppressed, but they are too, doing it all for the gospel. They can do good and show their love to others and yet still spread the gospel, without imposing it, but by showing love.
Gawat.ini nama'y pereduksian Injil. Bpk ini pastilah bkn org Kristen.
ReplyDeleteHahahahaha....... Pak ini mengaku logis tapi premis-premisnya gak logis!!! Kalau ada gereja atau lembaga yg Penginjilan dengan motivasi salah apakah berarti itu keadaan yang universal? anda menggiring orang seolah-olah itu adalah kebenaran (artinya anda sedang adalah seorang strawman). Selain itu argumentasi anda menarik garis lurus antara "penginjilan=Yesus satu-satunya juru selamat" dengan bukti penelaahan Yoh 14:6(yg anggap saja hasil telaah anda benarlah, bonus untuk anda) lalu serta merta menarik kesimpulan "penginjilan tidak perlu karena Yesus bukan satu-satunya jalan keselamatan." Gak nyambung! Lihat ayat sesudahnya tuh, Yoh 14:15, Kalau anda tidak mentaati perintah-Nya, anda tidak mengasihi Dia kan? Coba baca dulu biar yakin.... Kalau begitu termasuk perintah dalam Matius 28 ya? kalau anda tidak taat, anda bukan orang yg mengasihi Dia dong? dan anda bangga tidak mengasihi Dia? waduh kasihan kau saudaraku...... otakmu menyesatkanmu. Belajarlah lagi, bukan dengan logika tetapi dengan "takut akan Tuhan"
ReplyDeleteSdr Teguh Wijaya Mulya,
ReplyDeleteYang Anda perlukan bukan pengetahuan agama atau diskusi ilmiah rasional ttg Yesus, tapi pengalaman pribadi bersama Tuhan Yesus yg sudah mati buat Anda di Golgota kira2 2000 tahun lalu.
Yang perlu Anda lakukan hanya datang dan merendahkan diri kepada Tuhan Yesus yang mengasihi Anda dan ingin supaya Anda diselamatkan dan hidup kekal bersamaNya.
Ke-Kristen-an atau hidup bersama Yesus itu bukan agama, tapi kehidupan yang dibutuhkan oleh semua orang meskipun mungkin tidak disadari oleh mereka.
Itulah sebabnya kita perlu menginjil utk memberitahu dan mengingatkan mereka bahwa hidup di dunia ini cuma sementara, tapi ada pengharapan dan hidup kekal setelah hidup di dunia ini bersama Yesus (Roma 10:14)
Hidup bersama Yesus ini pasti akan kita beritakan kpd orang2 yg kita kasihi hanya apabila kita sudah mengalaminya sendiri. Itulah hakekat penginjilan, jadi bukan berdasar politis ekonomis seperti yg Anda katakan.
Salam kehidupan di dalam Yesus Kristus,
Ir. Agus Rahardja DS, MA.
Sdr Teguh Wijaya Mulya,
ReplyDeleteYang Anda perlukan bukan pengetahuan agama atau diskusi ilmiah rasional ttg Yesus, tapi pengalaman pribadi bersama Tuhan Yesus yg sudah mati buat Anda di Golgota kira2 2000 tahun lalu.
Yang perlu Anda lakukan hanya datang dan merendahkan diri kepada Tuhan Yesus yang mengasihi Anda dan ingin supaya Anda diselamatkan dan hidup kekal bersamaNya.
Ke-Kristen-an atau hidup bersama Yesus itu bukan agama, tapi kehidupan yang dibutuhkan oleh semua orang meskipun mungkin tidak disadari oleh mereka.
Itulah sebabnya kita perlu menginjil utk memberitahu dan mengingatkan mereka bahwa hidup di dunia ini cuma sementara, tapi ada pengharapan dan hidup kekal setelah hidup di dunia ini bersama Yesus (Roma 10:14)
Hidup bersama Yesus ini pasti akan kita beritakan kpd orang2 yg kita kasihi hanya apabila kita sudah mengalaminya sendiri. Itulah hakekat penginjilan, jadi bukan berdasar politis ekonomis seperti yg Anda katakan.
Salam kehidupan di dalam Yesus Kristus,
Ir. Agus Rahardja DS, MA.