Setiap
hari minggu kita ke gereja. Kita datang, kita duduk, bernyanyi, mendengar
firman, memberi kolekte, ngobrol-ngobrol, menikmati konsumsi, lalu pulang. Ini umumnya
kita sebut sebagai kebaktian atau ‘ibadah’ minggu. Kehadiran rutin di ibadah
minggu sering dianggap indikator terpenting iman kita. Jika ada orang Kristen
yang tidak pernah datang ke ibadah minggu, maka kita bisa menuduhnya sebagai
‘Kristen KTP’, atau ‘cuma Kristen-kristenan’, atau ‘Kristen tapi tidak
sungguh-sungguh’. Kehadiran mingguan ini juga menjadi perhatian utama pendeta
dan pengurus gereja. Bahkan ada tim pemerhati khusus untuk mengunjungi mereka
yang ‘undur’ atau tidak lagi rutin hadir di ibadah minggu.
Namun
jika kita renungkan sejenak, pernahkah Yesus mengajarkan praktik ibadah minggu
ini? Atau Paulus, Petrus, Yohanes, atau penulis Perjanjian Baru lainnya? Lebih
jauh lagi, benarkah kegiatan 2 jam seminggu ini pantas kita sebut ‘ibadah’? Dan
cocok dipakai untuk memisahkan siapa Kristen yang sungguh-sungguh, dan Kristen
yang tidak sungguh-sungguh? Yuk kita bahas…
Sejarah lahirnya ‘ibadah’ minggu
Praktik
mengkhususkan satu hari untuk beribadah sangat dekat dengan praktik hari Sabat
yang dipelihara oleh orang Yahudi. Di Perjanjian Lama Tuhan memerintahkan
bangsa Israel untuk ‘mengingat dan menguduskan hari Sabat’. Mereka berhenti
bekerja dan melakukan ritual ibadah di hari Sabat. Praktik ini diyakini bermula
dari teladan Tuhan sendiri saat penciptaan. Enam hari bekerja, dan Tuhan
beristirahat pada hari ketujuh.
Umat
Kristen mengadopsi hari minggu sebagai hari untuk ibadah sejak Kaisar
Konstantin memutuskan mengganti ritual ibadah dewa matahari Romawi di hari
minggu menjadi ibadah Kristiani. Dari ‘sun
day’ menjadi Lord’s day. Hal ini
kemudian diteguhkan oleh teolog-teolog dan lembaga gereja saat itu (seperti
Ignasius dari Antiokia, Justin Martyr, Tertulius, Victorinus, Eusebius dari
Kaisarea, Konsili Laodikia, Paus Gregory I, dll), dan tetap dipertahankan
hingga kini. Misalnya, di Katekismus Douay tahun 1649 dicantumkan:
Q. What is Sunday,
or the Lord's Day in general?
A. It is a day dedicated by the Apostles to the honor of the most holy Trinity, and in memory that Christ our Lord arose from the dead upon Sunday, sent down the holy Ghost on a Sunday, and therefore is called the Lord's Day. It is also called Sunday from the old Roman denomination of Dies Solis, the day of the sun, to which it was sacred.
A. It is a day dedicated by the Apostles to the honor of the most holy Trinity, and in memory that Christ our Lord arose from the dead upon Sunday, sent down the holy Ghost on a Sunday, and therefore is called the Lord's Day. It is also called Sunday from the old Roman denomination of Dies Solis, the day of the sun, to which it was sacred.
Sejauh
yang saya baca, Alkitab Perjanjian Baru tidak pernah secara eksplisit
memerintahkan kita mengkhususkan satu hari untuk ibadah. Yesus sendiri malah
terang-terangan menentang praktik hari Sabat ala Yahudi. Yesus beberapa kali
menyembuhkan orang sakit di hari Sabat, dan juga mendukung murid-muridNya
memetik gandum di hari Sabat. “Lalu kata Yesus kepada mereka: "Hari Sabat diadakan untuk manusia
dan bukan manusia untuk hari Sabat.” (Markus 2:27)
Jadi
kalau begitu, jangan-jangan ibadah minggu yang kita pahami sekarang sebenarnya tidak
terlalu Alkitabiah, namun hanyalah kesepakatan lembaga gereja zaman mula-mula?
Karena toh Alkitab tidak pernah benar-benar mengajarkannya. Jangan-jangan yang
kita lakukan selama ini bukanlah ‘ibadah’ yang Tuhan inginkan?!?
Ah
masa iya sih.. bagaimana dengan teladan jemaat mula-mula di Kisah Para Rasul 2:
42-47? Bukankah mereka berkumpul, memecahkan roti, berdoa, memuji Allah, dan
mendengarkan pengajaran rasul-rasul; persis seperti yang kita sekarang lakukan setiap
hari minggu? Menurut saya berbeda. Pertama, mereka tidak melakukannya seminggu
sekali, tapi “tiap-tiap hari” (ayat 46). Kedua, praktik itu tidak disebut
ibadah, tapi “bertekun dalam pengajaran dan dalam persekutuan” (ayat 42).
Ketiga, kalau kita mau konsisten meniru Kisah 2:42-47, mengapa kita tidak
mempraktikkan “segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama”, dan “menjual
harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan
keperluan masing-masing” (ayat 45)? Mengapa kita seenaknya memilih bagian ayat
yang lebih kita sukai untuk dipraktikkan?
Lalu,
bagaimana dong seharusnya ‘ibadah’ itu? Mari kita telaah apa kata Alkitab
tentang ibadah yang sejati.
Apa sebenarnya esensi ‘ibadah’ menurut Alkitab?
Di
Alkitab bahasa Indonesia Perjanjian Baru ada 47 ayat yang mengandung kata
‘ibadah’. Di Alkitab bahasa Inggris, ke 47 kata ‘ibadah’ tersebut kebanyakan diterjemahkan
sebagai ‘worship’, kadang sebagai ‘godliness’ , ‘devotion’, ‘sacred service’,
‘religious/reverent’, atau ‘piety’. Dari ke 47 ayat itu, hanya ada dua ayat
yang saya temukan memberikan petunjuk tentang makna ibadah yang sejati.
Yang
pertama adalah Yakobus 1:27 “Ibadah yang murni dan yang tak bercacat di hadapan Allah, Bapa kita,
ialah mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka, dan
menjaga supaya dirinya sendiri tidak dicemarkan oleh dunia.” Anehnya, ayat ini sama sekali tidak menunjuk
ke bentuk praktik ibadah seperti yang kita lakukan setiap minggu. Di ayat ini
tidak ada nyanyian, tidak ada khotbah, tidak ada kolekte, tidak ada doa berkat.
Justru konsep ibadah di sini dijelaskan sebagai pelayanan sosial dan menjaga
kekudusan. Teramat jarang saya mendengar ada jemaat yang ditegur pendetanya
karena kurang rajin melakukan pelayanan sosial sambil menjaga diri supaya tidak
dicemarkan oleh dunia. Bandingkan dengan pertanyaan: “koq lama ngga keliatan di
kebaktian minggu?”
Ayat
kedua yang memberikan petunjuk adalah Roma 12:1 “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku
menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang
hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.” Kalau ayat sebelumnya menggunakan istilah
“murni dan tak bercacat di hadapan Allah”, ayat ini menggunakan istilah
“sejati”. Calvin commentary seputar ayat ini menjelaskan bahwa manusia sering
merasa puas dengan bentuk ibadah yang dibuatnya sendiri, padahal di mata Tuhan
semua itu kosong belaka. Ayat ini mengontraskan ibadah eksternal (seperti mempersembahkan
korban hewan) dengan ibadah yang sejati, yaitu mempersembahkan seluruh hidup
kita.
Saya
jadi teringat akan ritual kosong 5D yang saya lakukan setiap minggu:
datang-duduk-diam-dengar-duit. Asalkan sudah datang gereja, sudah ikut bernyanyi
(meski tidak mengerti liriknya), sudah mendengar khotbah (meski langsung lupa
apa isinya setiba di rumah), sudah memberi kolekte (uang kecil saja kan, paling
banyak juga 10% dari penghasilan), dan sudah mengucapkan pengakuan iman rasuli
(di bibir saja sih); saya sudah merasa ‘beribadah’. Benarlah kata Paulus dalam
2 Timotius 3:5: “Secara
lahiriah mereka menjalankan ibadah mereka, tetapi pada hakekatnya mereka memungkiri
kekuatannya. Jauhilah mereka itu!”
Sangat
mungkin ini kemunafikan saya pribadi sih. Semoga ini hanya saya lho, bukan
orang-orang Kristen lain. Yuk kita tes:
1.
Apakah
Anda ingat apa isi khotbah 2 minggu yang lalu?
2.
Seberapa
banyak Anda memikirkan “Tuhan” selama ibadah itu, atau lebih banyak menikmati
suasana, lagu, khotbah, teman-teman; atau pikiran berkelana kemana-mana?
3.
Hal
penting apa yang Anda alami dalam ibadah itu? Adakah pengalaman yang mengubahkan?
4.
Apakah
kehadiran Anda dalam ibadah itu membuat Anda lebih mengasihi Allah dan sesama?
Jika iya, dalam bentuk/cara yang bagaimana?
5.
Apakah
Anda mengerti dan meresapi setiap kalimat dalam Doa Bapa Kami dan Pengakuan
Iman Rasuli yang Anda ucapkan? Kalau saya sih merasa mengucapkannya terlalu
cepat sehingga tidak sempat lagi memikirkan artinya..
Lalu bagaimana semestinya ibadah minggu kita?
Pertama,
bagi saya istilah ‘ibadah minggu’ sendiri sudah keliru. Ibadah bukan hanya hari
minggu. Ibadah adalah gaya hidup. Ibadah adalah praktik setiap hari. Ibadah
adalah penyembahan - ekspresi cinta terdalam pada Sang Mutlak, yang meresap ke
setiap sel tubuh kita dan setiap detik kesadaran kita.
Sayangnya
manusia nampaknya tidak bisa hidup tanpa ritual. Kita terlalu mudah lupa kalau
tidak ada jadwal rutin. Kata James K. A. Smith sih, “We are liturgical
animals”. Kita perlu rutinitas – bangun/tidur, sekolah, bekerja, mandi, makan,
juga beribadah.
Saya
sedikit banyak setuju dengan seorang pendeta pernah mengatakan bahwa hal
terpenting dalam ibadah adalah perjumpaan ilahi (spiritual encounter), yaitu
momen ketika kita merasakan kehadiran Tuhan begitu nyata dalam praktik
menyembah. Kita seakan ‘bertemu’ dengan Yesus sendiri sehingga menghasilkan
perubahan hidup. Persis seperti Paulus dalam perjalanan ke Damsyik. Ia berjumpa
dengan Yesus, ia mengalami perubahan dramatis. Tentunya perubahan tidak harus
selalu se-dramatis itu. Namun saya sepakat bahwa perjumpaan dengan Tuhan
mestinya membawa perubahan; entah dalam cara berpikir, perasaan terhadap
sesuatu, pemahaman tentang dunia, keputusan baru, ataupun kerinduan/semangat
yang bertambah.
Ironisnya,
ibadah minggu di gereja-gereja yang pernah saya hadiri lebih berfokus pada
kenyamanan jemaat, bukan pada kehadiran Tuhan. Pengurus gereja lebih pusing
memikirkan cara agar jemaat nyaman dan menikmati suasana kebaktian, bukan
memikirkan bagaimana Tuhan bisa disenangkan. Kalau ibadah diterjemahkan sebagai
worship (penyembahan), maka kita perlu bertanya sebenarnya siapa yang sedang
disembah. Coba kita pikirkan sejenak, untuk kenyamanan siapa sih sebenarnya
pendingin/penghangat ruangan dipasang di gereja? Untuk siapa rangkaian bunga
indah itu dipajang? Musik nan indah dilantunkan? Proyektor yang terang, ppt
slide didesain keren dan dinamis? Kata-kata positif penuh
pengharapan/penghiburan sepanjang khotbah? Kursi yang empuk? Makanan ringan
lezat dan minuman hangat setelah kebaktian?
Lalu
apa berarti ibadah minggu kita harus jelek, menyakitkan, membosankan, dan
sangat tidak nyaman? Tentu tidak.. Kita harus realistis, gereja juga tetap
butuh jemaat dong. Gereja tidak bisa lepas dari budaya, termasuk budaya
konsumeris, hedonis, dan neoliberalis yang kita hidupi sekarang. Gereja harus
berbicara dalam ‘bahasa’ yang dimengerti, harus mengikuti ‘aturan main’ dan
‘logika ekonomi’ masyarakat.
Ajakan
saya adalah untuk merenungkan kembali apa yang kita anggap sebagai ibadah, dan
apa dampaknya pada hidup kita dan masyarakat sekitar. Sudahkah ibadah kita
menyenangkan Tuhan, dan perjumpaan kita dengan Yesus membawa perubahan dalam
dunia?
terimakasih bahasannya, menjadi renungan juga
ReplyDelete