Friday, 8 March 2013

Mengenal Abraham Kuyper dan Neo-Calvinisme



Tidak banyak teolog yang pernah menjadi pemimpin tertinggi di sebuah negara/pemerintahan. Di antara yang tidak banyak itu, Abraham Kuyper adalah salah satunya. Kiprahnya di dunia politik, jurnalistik, pendidikan, dan teologi membawa pengaruh besar bagi negeri Belanda. Dalam tulisan ini kita akan mengenal siapa Abraham Kuyper dan pemikiran Neo-Calvinisme yang diwariskannya. Semoga lewat sosok Kuyper ini kita bisa terinspirasi untuk benar-benar mempraktikkan iman kita di dalam dan luar tembok gereja.
Siapa sih Abraham Kuyper itu?
Lahir di Maassluis, Belanda 29 Oktober 1837, Abraham Kuyper sering disebut sebagai seorang jenius yang luar biasa produktif dan tak mengenal lelah. Setelah menyelesaikan studi doktoralnya di bidang Sacred Theology di Leiden University, Kuyper memulai pelayanannya di kota Beesd, kemudian Utrecht, dan Amsterdam. Ia juga menjadi editor kepala koran harian De Standaard (The Standard) dan koran Kristen mingguan De Heraut (The Herald) selama lebih dari 45 tahun. Di dunia politik, ia adalah anggota parlemen, pendiri partai politik Anti-Revolutionary, perdana Menteri Belanda tahun 1901-1905, dan kemudian menjadi Minister of State. Selama menjabat perdana menteri ia melakukan reformasi pendidikan di Belanda dan mendirikan Free University of Amsterdam. Sumbangan pemikirannya sebagai seorang teolog ia tuangkan dalam tulisan-tulisannya; termasuk 306 artikel di kolom “Of The End of The World” di mingguan De Heraut. Di ulang tahunnya yang ke 70 disebutkan bahwa “The history of The Netherland, in Church, in State, in Society, in Press, in School, and in the Sciences of the last forty years, cannot be written without the mention of his name.”
Pandangannya yang tajam dan komprehensif tentang Calvinisme membuat ia diundang menyampaikan kuliah di Princeton Theological Seminary di Amerika Serikat. Dari sanalah buku Lectures on Calvinism dirangkum dan dipublikasikan secara luas sebagai salah satu karya terpenting untuk memahami Neo-Calvinisme.
Calvinisme dan Neo-Calvinisme: Apa bedanya?
And why did we, Christians, stand so weak, in the face of this modernism?
Why did we constantly lose ground?
Simply because we were devoid on an equal unity of life-conception
~ Abraham Kuyper, Lectures on Calvinism, p. 19.

Calvinisme banyak dikenal dan dipopulerkan lewat lima poin yang biasa disingkat TULIP, yaitu Total depravity, Unconditional election, Limited atonement, Irresistible grace, dan Perseverance of the saints. Kelima poin ini menjelaskan keselamatan menurut iman Kristen. Dimulai dengan kondisi manusia yang tak berdaya terbelenggu dosa, pilihan Tuhan atas orang-orang tertentu untuk mendapat anugerah keselamatan tanpa syarat melalui karya penebusan Yesus, dan orang-orang yang sudah terpilih itu akhirnya akan sepenuhnya bebas dari dosa di kehidupan kekal.
Saking populernya lima poin itu, Calvinisme banyak disalahpahami sebagai doktrin soteriologis (doktrin tentang keselamatan) belaka. Padahal Calvinisme jauh lebih luas dan dalam. Para tokoh Neo-Calvinisme mengidentifikasi reduksionisasi ini, dan berusaha mengangkat kembali aspek kosmologis Calvinisme; bahwa Yesus adalah Tuhan atas seluruh alam semesta, Tuhan atas teologia dan matematika, atas sejarah dan budaya, atas gereja dan negara.
Kuyper menyebut Calvinisme sebagai “a life system”. Maksudnya, Calvinisme bukan sekadar teori tentang keselamatan, Tuhan, atau agama. Calvinisme adalah penjelasan tentang kehidupan secara lengkap dan menyeluruh. Calvinisme menjawab pertanyaan ontologis (siapa manusia itu, dari mana ia datang, kemana ia akan pergi, apa tujuannya di dunia ini), etika (apa itu benar dan salah, baik dan buruk, bagaimana manusia berperilaku dalam masyarakat), kebahagiaan, kebebasan, dan juga kemanusiaan. Tentunya dari persepektif Alkitab. Kuyper menganggap pengertian tentang ini adalah dasar untuk memahami hal-hal lain. Itu sebabnya ia meletakkannya di bab pertama buku Lectures on Calvinism. Bab-bab selanjutnya adalah konsekuensi dari bab pertama ini, yaitu kaitan Calvinisme dengan agama, politik, sains, dan seni.
Calvinisme bagi Kuyper adalah titik awal untuk memahami tiga relasi dasar manusia: (a) relasi dengan Tuhan, (b) relasi dengan sesama manusia, dan (c) relasi dengan dunia. Dalam relasi dengan Tuhan, Calvinisme menunjukkan bahwa hubungan kita sifatnya langsung, tidak perlu diperantarai oleh gereja atau pendeta. Dalam relasi dengan sesama, kesadaran bahwa manusia adalah gambar dan rupa Allah menjadi dasar untuk memperlakukan sesama kita dengan adil dan cinta kasih. Dalam relasi dengan dunia, pengertian bahwa dunia ini adalah anugerah (yang ternodai oleh dosa) menjadi titik tolak kita untuk selalu menjaga, merawat, dan mengembangkan potensinya.
Sayangnya, kapasitas Kekristenan sebagai kepercayaan dasar yang memengaruhi dan membentuk seluruh aspek kehidupan telah digeser oleh modernisme. Obsesi pada rasionalitas, sains, teknologi, dan kebebasan individu merasuki seluruh aspek kehidupan sosial masyarakat. Kekristenan terpojokkan ke ruang dan waktu yang sangat sempit: di gedung gereja, satu hari dalam seminggu, dan aktivitas ritualistik yang itu-itu saja. Ironisnya, yang menjadikannya seperti itu adalah … kita sendiri! Tepatnya kacamata kuda yang kita pakai untuk memandang iman kita.
Pokok pemikiran Neo-Calvinisme
Asumsi-asumsi dasar Neo-Calvinisme sebenarnya tidak asing ditelinga kita. Pertama, Yesus adalah Tuhan atas segalanya. Ia berdaulat atas setiap detik sejarah, setiap sentimeter alam semesta, setiap mahluk di ujung dunia. Ia berkuasa atas orang-orang percaya, orang-orang tidak percaya, binatang, tumbuhan. Ia menciptakan dan mengendalikan semua.
Kedua, semua ciptaanNya adalah “sangat baik”. Manusia diberi tugas yang amat mulia untuk menjaga dan merawat ciptaan itu (Kejadian 1:28 dan 2:15), atau yang sering disebut sebagai mandat budaya (cultural mandate). Tugas ini diberikan bahkan sebelum manusia jatuh dalam dosa. Ciptaan harus senantiasa diolah dan dikembangkan. Oleh karena itu Kuyper sangat menghargai bagaimana dunia berkembang sepanjang sejarah; menjadi lebih maju, dinamis, rumit, dan beragam.
Ketiga, kejatuhan dalam dosa tidak hanya mengakibatkan hilangnya persekutuan kekal manusia dengan Allah yang kudus, namun juga termanifestasi dalam struktur kehidupan sosial masyarakat. Penindasan, ketidakadilan, kejahatan, perusakan lingkungan adalah sebagian di antaranya. Untuk mengurangi kehancuran akibat dosa pada ciptaanNya, Tuhan memberikan anugerah umum (common grace) berdampingan dengan anugerah khusus yaitu keselamatan bagi mereka yang terpilih. Orang-orang percaya dan tidak percaya mendapat anugerah sinar matahari yang sama, mendapat oksigen yang sama, mendapat air yang sama. Sains, pemerintah, ilmu medis, sistem hukum, dan mekanisme ekonomi juga dapat dipandang sebagai bagian dari anugerah umum ini. Orang Kristen tidak otomatis manjadi kaya raya, mendapat kekebalan hukum, atau sepenuhnya terbebas dari sakit penyakit. Orang Kristen dan non-Kristen sama bergantung pada anugerah umum.
Keempat, karya penebusan Kristus tidak hanya ditujukan untuk keselamatan pribadi, namun juga penebusan alam semesta. Segala ciptaan yang pada mulanya “sangat baik” ikut mengalami kejatuhan akibat dosa, sehingga penebusan Kristus juga ditujukan untuk memulihkan alam dan masyarakat. Kuyper mengatakan: “The curse should no longer rest upon the world itself, but upon that which is sinful in it.” Tugas orang Kristen bukan hanya menikmati keselamatan diri sendiri dan menambah anggota gereja, namun mentransformasikan seluruh ciptaan. Mandat budaya sama pentingnya dengan mandat Injil. Pelayanan kita bukan saja lewat aktivitas gerejawi, tetapi lewat seluruh aspek kehidupan. Kuyper cukup keras dalam hal ini:
“Wherever man may stand, whatever he may do, to whatever he may apply his hand, in agriculture, in commerce, and in industry, or his mind, in the world of art, and science, he is, in whatsoever it may be, constantly standing before the face of his God, he is employed in the service of his God … A religion confined to the closet, the cell, or the church, therefore, Calvin abhors.”
Tidak ada hal yang sama sekali baru dalam pokok pemikiran Neo-Calvinisme ini: Kemahakuasaan Tuhan, mandat budaya, anugerah umum, dan penebusan seluruh ciptaan. Pertanyaannya sekarang, bagaimana penerapannya dalam konteks kita? Sudahkah semangat transformasi budaya ini membudaya di gereja-gereja masa kini?
Neo-Calvinism bagi kita: Relevansi dan aplikasi
All basic human liberties stem from Calvinism as a political theory.
~ Abraham Kuyper

Abraham Kuyper dijuluki “Abraham the Terrible” oleh lawan-lawan politiknya karena keberaniannya menentang arus zaman. Ia meyakini bahwa otoritas duniawi haruslah meniru otoritas Tuhan yang memandang semua manusia sebagai gambar dan rupaNya. Oleh karena itu negara harus memperlakukan semua warga dengan adil dan setara. Kuyper menentang segala bentuk diktator dan tirani oleh sekelompok kecil orang, baik itu kelompok borjuis (yang membuatnya dibenci oleh partai liberal), maupun kelompok buruh (yang membuatnya dibenci oleh partai sosialis).
Ia juga dimusuhi oleh kelompok Kristen konservatif, karena ia menolak ide teokrasi (negara berdasarkan satu agama), memperjuangkan pemisahan negara dan gereja, serta tidak ragu bergabung dengan kelompok-kelompok radikal. Ia meyakini bahwa Tuhan memberikan bentuk pemerintahan yang berbeda-beda di setiap zaman dan teokrasi hanya relevan di konteks Israel kuno. Ia bergabung dengan siapa saja yang ia anggap memiliki visi kesejahteraan sosial yang sama, terlepas dari agama dan label mereka. Ia percaya anugerah umum diberikan pada semua orang untuk bersama-sama bekerja menuju masyarkat yang lebih baik.
Kuyper ditentang oleh mayoritas anggota parlemen ketika ia memunculkan ide kemerdekaan bagi Indonesia yang kala itu masih dijajah Belanda. Ia berargumen: “Indonesia is a separate sphere, and must be helped to develop in its own way.” Dengan Calvinisme sebagai teori politisnya, Kuyper bergerak untuk mentransformasi budaya sebagai praktik imannya.
Bagaimana dengan kita? Zaman sekarang tentu berbeda dengan zaman Kuyper, sehingga tugas kita adalah menerjemahkan semangat Neo-Calvinisme dalam konteks kita saat ini. Misalnya, kita bisa memulai dengan bertanya:

  • Apa manifestasi dosa di masyarakat masa kini? Di tingkat individual? Sosial? Global? 
  • Apa filsafat dunia yang telah merasuki alam bawah sadar kita? Konsumerisme? Rasisme? Patriarki? 
  • Jika Kuyper mengatakan “Liberate the Church (from the State and the Synod)”, maka gereja kita saat ini perlu “dibebaskan” dari apa? Legalisme? Egosentrisme? Materialisme? Hedonisme? Neoliberalisme? 
  • Bagaimana dengan praktik iman kita secara pribadi? Sudahkah seluruh hidup kita menjadi penyembahan? Ataukah hanya hari minggu? Hanya 10% dari harta kita? Hanya berfokus pada keselamatan individual dan aktivitas gerejawi belaka? 
  • Seberapa peduli kah kita pada isu lingkungan hidup, kemiskinan, kekerasan, human trafficking, HIV/AIDS? Atau kita bertahan pada mentalitas “bukan urusan saya”? Tidak ada hubungannya dengan iman saya?

David Bosch merangkum panggilan misionaris Neo-Calvinism di zaman kita sebagai berikut:
to ask questions about the use of power in our societies, to unmask those that destroy life, to show concern for the victims of society while at the same time calling to repentance those who have turned them into victims, and to articulate God's active wrath against all that exploits, squanders, and disfigures the world for selfishness, greed and self-centered power.
Tentunya kita tidak perlu terjebak pada impian heroik untuk mengubah dunia (atau bahkan mengubah gereja). Mungkin lebih baik dan lebih langgeng jika kita perlahan-lahan mengubah diri sendiri, mengubah cara kita memandang karya penebusan, cara kita menghabiskan waktu luang, cara kita membaca dan memperhatikan isu-isu tertentu, cara kita berbelanja, cara kita memberi untuk amal, cara kita terlibat aksi sosial, dan seterusnya…
Penutup
Neo-Calvinisme bukanlah teologi sempurna tanpa kritik. Ia sering dikritik karena mengabaikan penginjilan pribadi akibat terlalu berfokus pada keadilan sosial. Walaupun sulit, mandat budaya dan mandat Injil tentu harus selalu diusahakan berjalan berdampingan. Abraham Kuyper, meskipun diakui sebagai tokoh besar, juga banyak dikritik karena pemikirannya yang fragmentaris dan visinya yang sulit dipraktikkan secara riil.
Artikel singkat ini akan diakhiri dengan kutipan inspiratif dari Michelle Obama dalam pidatonya di konferensi African Methodist Episcopal Church bulan Juni 2012 yang lalu:
“Our faith journey isn’t just about showing up on Sunday for a good sermon and good music and a good meal.  It’s about what we do Monday through Saturday as well. It’s especially in those quiet moments, when the spotlight’s not on us, and we’re making those daily choices about how to live our lives. We see that in the life of Jesus Christ. Jesus didn’t limit his ministry to the four walls of the church. We know that. He was out there fighting injustice and speaking truth to power every single day. He was out there spreading a message of grace and redemption to the least, the last, and the lost. And our charge is to find Him everywhere, every day by how we live our lives. That is how we practice our faith. You see, living out our eternal salvation is not a once-a-week kind of deal.”

Sumber-sumber untuk dibaca lebih lanjut

Karya asli Kuyper:

  • Kuyper, A. (1931). Lectures on Calvinism. Grand Rapids: Eerdmans Publishing.

 Literatur akademik:

  • Bratt, J. D. (2007). Abraham Kuyper’s Calvinism. In E. Dommen & J. D. Bratt (Eds.), John Calvin rediscovered: The impact of his social and economic thought (pp.79-92). Louisville: Westminster John Knox Press. 
  • Hexham, I. (1983). Christian politics according to Abraham Kuyper. CRUX, 19(1), 2-7. 
  • Jellema, D. (1957). Abraham Kuyper’s attack on liberalism. The Review of Politics, 19(4), 472-285. 
  • van der Kroef, J. M. (1948). Abraham Kuyper and the rise of Neo-Calvinism in the Netherland. Church History, 17(4), 316-334. 
  • Young, W. (2011). Historic Calvinism and Neo-Calvinism. Diunduh 18 September 2012, dari http://www.westminsterconfession.org/the-doctrines-of-grace/historic-calvinism-and-neo-calvinism.php

 Webpage singkat:


 Resource webpage:



~//~

Thursday, 7 March 2013

Mengapa saya enggan menginjil

Kalau yang dimaksud penginjilan adalah menyampaikan kabar baik supaya orang menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat secara pribadi, saya enggan menginjil! Lewat tulisan ini saya akan menjelaskan bagaimana pemahaman iman saya sehingga tiba pada keengganan itu.

Mengapa kita menginjil?
Saking familiarnya bagi kita, kita sampai lupa menanyakan mengapa kita menginjil. Benarlah kata pepatah bahwa the familiar is poorly known. Coba renungkan sebentar pertanyaan sederhana ini: Mengapa kita percaya bahwa orang Kristen harus memberitakan kabar keselamatan dalam Yesus pada semua orang?

Saya duga jawaban yang pertama melintas adalah karena itu perintah Yesus. Yesus sendiri yang memerintahkan kita untuk “menjadikan semua bangsa muridKu” bukan? Di Matius 28: 19-20 kan sudah jelas sekali. Alasan lain yang sering muncul adalah kalau kita mengasihi sesama, maka kita tidak mau orang lain mengalami penderitaan kekal di neraka. Makanya penting sekali untuk mengenalkan Yesus pada mereka. Toh kita sudah menerima keselamatan dengan cuma-cuma, mengapa tidak membagikan kabar teramat baik ini ke orang lain juga?

Bagi saya bukan itu alasan utama kita menginjil. Kita menginjil karena gereja membutuhkan lebih banyak jemaat dan lebih banyak uang. Politis dan ekonomis. Simpel dan terdengar agak sinis? Mungkin, tapi realistis kan? Gereja juga perlu sumber daya dong. Kalau ngga ada jemaat, ngga ada yang memberi persembahan; bagaimana pendeta bisa digaji, bagaimana listrik bisa dibayar, bagaimana gedung bisa dipelihara? Jangan lupa bahwa berusaha mendapatkan sumber daya guna membangun jemaat itu tidak dosa lho! Lha mencari uang untuk beli gadget tercanggih, shopping baju model terbaru, dan makan-makan di resto mahal aja ngga dosa koq. Apalagi cari uang untuk membangun gereja. Sebuah niatan yang baik kan.

Masalahnya, niatan baik itu sering dipercantik dengan kosmetik rohani; bahwa Yesuslah yang mengharuskan kita, bahwa kita anak yang keterlaluan kalau ngga mau membantu Bapaknya, bahwa seluruh malaikat bersorak-sorai ketika kita mendapatkan satu jiwa, bahwa menginjil adalah misi terpenting kita sebagai orang percaya. Terdengar familiar? Sangat familiar bagi saya. Yuk kita telaah lebih dekat…

Siapa bilang Matius 28:19-20 adalah Amanat Agung?
Alkitab tidak pernah menyebut Matius 28: 19-20 sebagai Amanat Agung. Lalu mengapa kita sangat percaya bahwa itu adalah tugas yang sungguh penting hingga perlu ditahbiskan sebagai Amanat Agung? Entahlah. Dan nyatanya, tidak semua orang Kristen setuju itu adalah Amanat Agung lho. Coba tanyakan ke orang Kristen penganut teologi dispensasi (yang meyakini setidaknya ada dua Injil: Injil Kerajaan untuk Israel jasmani dan Injil Anugerah untuk kita). Bagi mereka, “Amanat Agung” ada di 2 Korintus 5: 14-21, bukan di Matius 28 (kalau penasaran, silahkan dibaca: http://www.matthewmcgee.org/2gospels.html#Great).

Lalu mengapa perintah Yesus di Matius 28:19-20 ini dipilih secara khusus dan bahkan diulang-ulang oleh gereja? Mengapa koq bukan perintah yang lain? Misalnya perintah Yesus untuk “melakukan sesuatu bagi saudara yang paling hina ini”? Ketaatan kita terhadap perintah ini menjadi dasar memisahkan domba dan kambing lho. Dan para kambing akan dilempar ke tempat penuh ratapan dan kertak gigi tuh. Mengapa ini diabaikan? Mengapa kita seenaknya pilih-pilih mana ajaran Yesus yang lebih penting dan tidak?

Tenang saja.. bukan salah kita koq, kita dibuat percaya demikian. Kembali ke dugaan saya semula, semua ini karena perintah tertentu memberikan manfaat strategis dan ekonomis bagi gereja. Makanya perpuluhan (yang tidak pernah diperintahkan oleh Yesus, Petrus, Paulus, Yohanes, dan semua penulis Perjanjian Baru)  tetap saja mendapat perhatian super penting dari gereja!

Membaca Yohanes 14:6 lebih dekat
Sekarang alasan kedua: bahwa kita tidak ingin sesama kita menderita di neraka. Coba direnungkan sejenak, klaim ini sebenarnya berlandaskan keyakinan bahwa mereka yang tidak menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat secara pribadi PASTI dipanggang di api neraka. Ini merujuk ke penganut agama lain: orang Muslim, Budha, Hindu, dst. Hmm.. apa iya begitu yah? Bagaimana dengan mereka yang tidak pernah mendengar tentang Yesus? Gimana dengan orang-orang yang hidup di zaman sebelum Yesus? Gimana dengan orang-orang yang tidak pernah melakukan praktik “menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadi” seperti misalnya orang Israel di zaman Musa?

Tapi bagaimana dengan Yohanes 14:6? Di sana jelas-jelas ditulis bahwa Yesus adalah satu-satunya jalan, kebenaran, dan hidup; tidak ada seorangpun yang datang ke Bapa tanpa melalui Yesus. Apa masih bisa diragukan bahwa Yesus adalah satu-satunya jalan ke surga?

Setelah sekian lama mencoba memahami maksud ayat ini, saya menemukan tulisan singkat Brian McLaren menjawab kebingungan saya. Ia adalah pendeta di Cedar Ridge Community Church di Maryland, Amrik. Tahun 2005 ia dinobatkan sebagai satu dari 25 most influential Christian leaders in America oleh majalah Times. Tulisan-tulisannya banyak berfokus pada konsep emerging church dan postmodern Christianity (makanya saya suka!). Tulisannya tentang Yohanes 14:6 bisa didownload di sini: http://www.brianmclaren.net/emc/archives/McLaren%20-%20John%2014.6.pdf

Brian berargumen kalau Yoh 14:6 banyak dibaca secara ngawur sehingga makna yang dipahami saat ini sama sekali berbeda dengan konteksnya. Coba direnungkan, bagaimanakah sebenarnya situasi saat Yesus mengatakan ayat 6 itu? Apakah saat itu Yesus sedang berbicara tentang orang Muslim, Budha, Hindu, Sikh, Zoroaster, atau atheists? Atau orang-orang kafir yang tidak mau percaya pada ajaran Yesus kala itu? Atau sedang mengutuki orang Farisi dan ahli Taurat? Dugaan saya, banyak orang Kristen tidak ingat, atau tidak tau, atau tidak peduli bagaimana konteksnya. Yang terpenting, ayat itu menegaskan siapa yang percaya Yesus masuk surga, yang lain dipanggang. Titik.

Brian mengajak kita menelaah perlahan-lahan situasi saat Yesus mengatakan itu. Yuk kita bayangkan suasananya sejak pertengahan pasal 13. Saat itu hari sudah malam, Yesus duduk bersama murid-muridnya menikmati perjamuan makan terakhir. Coba Anda menjadi Yesus. Tiga tahun belakangan tidak pernah pulang rumah, berkelana bersama 12 orang yang selalu setia, makan bersama, tidur bersama, mandi bersama, bertamu ke rumah orang bersama, kena badai bersama, mengusir setan bersama, dicerca orang Farisi bersama. Yesus tau sebentar lagi mereka akan berpisah selamanya. Makanya di tengah-tengah perjamuan itu Yesus ngga mampu menahan kesedihannya dan berkata: “Salah satu dari kamu akan mengkhianatiku.” Murid-murid kaget, menanyakan siapa gerangan. Yesus menjawab orang yang diberi roti setelah Ia mencelupkannya. Tapi murid-murid tetap ngga mengerti. Bahkan saat Yudas pergi pun murid-murid tidak mengerti siapa yang akan berkhianat.

Yesus melanjutkan dengan supersedih: “Guys, ini tinggal sebentar lagi Aku sama-sama kalian. Aku mau pergi ke sebuah tempat. Tapi kamu ngga bisa ikut pergi ke sana. Tolong kamu saling mengasihi ya, biar dunia bisa liat kalo kamu itu murid-muridKu.” Petrus bertanya: “Lho, Guru, kamu mau ke mana?” Yesus ngga bisa jawab terus terang, Dia hanya berkata: “Sudahlah, kamu ngga bisa ikut Aku sekarang. Tapi nanti suatu hari kamu akan ikut Aku.” Petrus ngga terima: “Lho, kenapa aku ngga bisa ikut kamu sekarang, Guru? Aku lho siap mati untukMu!” Yesus nyengir kecut: ”Oyah? Beneran? Kurang dari 12 jam dari sekarang kamu lho bakalan bilang ngga kenal aku. Tiga kali!”.

Sekarang coba bayangkan jadi murid-murid. Bayangkan Anda adalah nelayan, pemungut cukai, atau penjual bakso. Tiga tahun setia mengikuti seorang guru yang Anda cintai, agungkan, dan harapkan membebaskan negeri Anda dari penjajah; sekarang Ia bilang mau berpisah tanpa kejelasan. Dia bilang akan ada yang mengkhianatiNya, kemudian Dia pergi tanpa bisa diikuti. Ketika ketua kelas Anda yang pemberani berkata bahwa ia tetap mau ikut sang Guru bahkan siap mati, Guru Anda malah berkata bahwa si ketua kelas ini bakal menyangkal sang Guru tiga kali. Bingung ngga sih? Gelisah, gundah gulana, campur aduk. Pasal 13 berakhir di sini.

Pasal 14 ayat pertama. Yesus melihat raut wajah murid-murid yang bagai nasi pecel itu, bingung juga Yesus… gimana mau menjelaskan pengetahuannya yang seluas samudra ke 11 orang rakyat jelata ini? “Gini-gini deh..sudah kalian ngga usah bingung ya. Percaya sama Tuhan, percaya sama Aku juga, ok? Aku itu mau pergi ke rumah PapaKu. Di sana rumahnya besaaaaar. Aku ke sana menyiapkan kamar-kamar buat kalian. Jadi suatu saat nanti kalian bisa selalu bersama-sama Aku. Kalian lho sudah tau jalannya ke sana kan.”

Thomas yang lumayan rasional itu pun segera menanggapi: “Sebentar-sebentar, Guru, kita lho ngga tau Guru mau kemana, koq bisa bilang kita sudah tau jalan ke sana toh?” Lalu Yesus pun menyampaikan mantra saktinya (yang membuat peperangan, kekerasan, konspirasi, dan permusuhan umat Kristen dengan agama lain): “Walah, murid-muridku sayangku cintaku, ya Aku ini lho jalannya! Ngga ada orang bisa ke Bapa kalo ngga lewat Aku! Kalo kalian sudah kenal Aku, kalian ya sudah kenal Bapa itu sendiri. Inget-inget ya, pokoknya mulai sekarang kalian itu sudah kenal Bapa. Bahkan sudah ngeliat sendiri Bapa itu kayak apa.”

Filipus ikutan sok rasional: “Guru, kalo begitu tolong tunjukkan Bapa itu ke kita! Kita pasti lega kalo sudah ditunjukkan.” Yesus rada putus asa: “Es-we-te kamu Filipus.. sudah sekian lama kenal Aku koq gak ngerti-ngerti juga toh.. Bisa-bisanya kamu minta ditunjukkan Bapa itu kayak apa. Kamu ngga percaya kah kalau Bapa itu di dalam Aku, Aku di dalam Bapa. Kalo kamu sulit nerima ini, coba liat mujizat-mujizat yang sudah Kulakukan. Sudah lah, kalau kalian percaya Aku, kalian juga bisa melakukan hal-hal besar kayak gitu.” Filipus pun diam seribu bahasa.

Jadi apakah orang yang tidak mengaku bahwa Yesus adalah Tuhan akan dipanggang di oven neraka? Mungkin.. tapi sangat jelas bagi saya bahwa Yohanes 14:6 tidak mengatakan hal itu. Yesus sedang mengatakan pada murid-muridNya tentang percaya sepenuhnya (trust) pada Dia, tidak usah mencari-cari cara/informasi/liturgi/metode/jalan yang bisa ditelusuri supaya bisa mencapai Tuhan. Jelas Yesus tidak sedang berbicara tentang bangsa-bangsa lain atau agama-agama lain.

Membangun Kerajaan Allah di bumi
Lalu apa konsekuensi dari pemahaman ini? Tentunya cara saya memandang iman Kristen harus berubah. Agama Kristen bagi saya tidak bisa lagi menjadi sebuah persamaan matematika yang berakhir dengan “surga” setelah tanda sama dengan. Kekristenan bukanlah silogisme yang premis-premisnya adalah doktrin-doktrin dan konklusinya adalah keselamatan. Kita suka dengan silogisme, karena bisa diperiksa alur logikanya sehingga bisa menjadi senjata untuk menyatakan agama lain salah.

Bagi saya kekristenan bukanlah agama yang paling “benar”. Yesus tidak pernah mengajarkan hal itu. Bagi saya Yesus tidak mengajarkan teologi yang sistematik, komprehensif, rasional, dan utuh supaya bisa dibuktikan kebenarannya melawan agama lain. Atau untuk memuaskan nalar kita yang rindu kepastian ilmiah tentang Tuhan. Mungkin iman kita lebih merupakan produk filsafat teologi abad modern daripada ajaran Yesus.

Bagi saya, Yesus mengajarkan sebuah gaya hidup. Sebuah relasi. Sebuah praktik, yang harus dikembangkan setiap hari. Ia memberikan teladan cinta kasih yang nyata. Ia menunjukkan apa makna hidup. Ia memeluk anak-anak. Ia mencaci maki orang Farisi. Ia membalik meja pedagang kaki lima di Bait Allah. Ia mati di kayu salib. Ia tidak memakai slogan-slogan populis “7 langkah mudah mengenal Tuhan”, atau slogan konsumeris “rahasia hidup bahagia-kaya-raya-masuk-surga”, atau slogan otoritarian “yakinilah ini, maka semua yang lain salah”.

Jadi apakah kita tidak perlu menginjil? Kalau menginjil diartikan secara teramat sederhana sebagai mengajak/memaksa/memanipulasi orang supaya tertarik pada Yesus, kalau perlu dengan metode psikologis yang canggih, mempelajari celah kelemahan agama-agama lain, memberikan perhatian dan kasih sayang, musik yang bagus, KKR yang megah, janji-janji kelimpahan materi, kesembuhan dari penyakit, atau kebahagiaan kekal; maka bagi saya itu bukan penginjilan.

Menginjil bagi saya adalah membangun kerajaan Allah di bumi. Ini tidak sama dengan menjadikan semua orang di dunia beragama Kristen. Menginjil lebih asik dari itu! Menginjil tidak harus egois, politis, dan ekonomis. Menginjil adalah menjadikan kehendak Allah terwujud di bumi, persis seperti di surga. Membangun masyarakat yang sehat dan berkeadilan, menjalin hubungan penuh damai dengan kelompok yang berbeda, memperjuangkan pemerintahan yang bersih dan bertanggungjawab, mempraktikkan gaya hidup ramah lingkungan, menyapa dan memperlakukan ‘orang kecil’ dengan hormat, menguatkan sahabat yang lemah, memeluk anak dengan penuh kasih, memijat punggung kekasih yang kecapaian.. Bukankah itu semua yang Yesus teladankan?

We, other Pharisee



Woe to us, Christians, we are hypocrites!
We feel guilty when we missed a single Sunday sermon,
But we perfectly happy when we do nothing to orphans and widows in their sorrow.

Woe to us, Christians, we are hypocrites!
We excitedly consume cheap products made in somewhere (you know..),
Don’t we know that behind every cheap product very likely there are unfair trades, exploitations, and human slavery?

Woe to us, Christians, we are hypocrites!
We endlessly remind everyone to tithe,
Truly I tell you: Sell everything, give it away to the poor, and follow Jesus.

We are blind fools!
We hire best architects to build big churches,
best artists to decorate their windows,
and spend thousands of dollars on building maintenance every year,
But we ignorantly pass by homeless and hungry people on the way to church!
What a good Samaritan we are..

Blind Pharisee!
We preach “love your neighbor as yourself”,
But we don’t consider people in neighboring countries who struggle for food, clean water, and decent shelter as our neighbor.
(Well..we don’t even interested to hear news about this in preference to celebrity gossips, do we?)

Woe to us!
We mindlessly use unnecessary tissue, plastic bags, Styrofoam,
We are too lazy to sort our rubbish,
We happily but new LCD screen, camera, mobile phone, laptop, ipad, iphone, just because ‘all my friend have it’ without ever think what happen with all these poisonous e-waste.
Our Greatest Artist has carefully crafted every single corner of earth, and we ignorantly destroy this masterpiece?

We, brood of vipers!
How will we escape being condemned to hell?

Merenungkan Kembali Apa Kata Alkitab tentang Homoseksualitas



Isu homoseksualitas telah memecah belah gereja di negara-negara Barat, termasuk New Zealand. Perdebatan sengit sering terjadi antara kutub yang satu (yang meyakini homoseksualitas adalah dosa terkutuk) dan kutub yang lain (yang meyakini gereja seharusnya menerima dan memberkati pernikahan sesama jenis), juga berbagai posisi di antara kedua kutub tersebut. Bumbu-bumbunya pun menghangatkan suasana, seperti ucapan “mereka itu sesat”, “ini tanda-tanda akhir zaman”, atau “dasar mereka itu konservatif dan fundamentalis”. Di kalangan gereja Indonesia belum terjadi perpecahan setajam ini, namun mungkin saja terjadi dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi.

Posisi Gereja tentang Homoseksualitas
Sebuah buku karangan Holben (1999) memetakan setidaknya ada enam posisi gereja terhadap homoseksualitas. Pertama adalah ‘abomination’, yaitu homoseksualitas dianggap dosa terkutuk kapanpun dan dimanapun. Posisi kedua adalah ‘change is expected’, yaitu kaum homoseks dianggap sakit sehingga perlu dipulihkan menjadi heteroseks yang normal. Penelitian saya pada pendeta-pendeta di Surabaya tahun 2011 menunjukkan bahwa kebanyakan mereka berada pada posisi ini (Wijaya Mulya, in press). Ketiga, ‘celibate is expected’. Posisi ini meyakini bahwa dorongan homoseks bukan dosa dan tidak perlu/tidak bisa diubah, tetapi mempraktikkan aktivitas seks sesama jenis lah yang dosa. Oleh karena itu kaum homoseks dipanggil untuk memikul salibnya yaitu hidup selibat. Keempat, ‘marginally acceptable’, praktik seks sesama jenis boleh saja, asalkan dalam hubungan monogami. Pertimbangannya, hidup selibat bukanlah hal mudah yang bisa dilakukan semua orang. Kelima, ‘affirmation’, yaitu mereka yang heteroseksual dan homoseksual harus diperlakukan sama. Keenam, ‘liberation’, yaitu mereka yang anti homoseks lah yang harus dibebaskan dari belenggu dosa kebencian. Keenam posisi ini bukan teoretis belaka lho, ada contoh nyata gereja/denominasi di setiap kategori, dan mereka semua mengaku berlandaskan Alkitab.

Bawaan vs Lingkungan
Topik lain yang sering muncul dalam perdebatan seputar homoseksualitas adalah bagaimana seseorang bisa menjadi homoseks, dan apakah orientasi seksual ini bisa berubah. Ada pihak yang meyakini bahwa homoseksualitas muncul akibat bentukan lingkungan (pelecehan seksual oleh orang dewasa sesama jenis di masa kecil, sosok ayah yang lemah dan ibu yang dominan, dan lain-lain), sehingga bisa ‘disembuhkan’. Kelompok-kelompok Kristen yang meyakini hal ini biasanya memberikan terapi untuk ‘menyembuhkan’ homoseksualitas, seperti Living Water International, Exodus International, dan NARTH (National Association for Research and Therapy of Homosexuality). Di sisi lain, ada pula pihak yang meyakini homoseksualitas bersifat bawaan (faktor genetik, struktur saraf otak, ketidakseimbangan hormon saat di kandungan, dan lain-lain), sehingga tidak bisa dan tidak perlu ‘disembuhkan’.

Penelitian-penelitian terkini menyimpulkan bahwa homoseksualitas - sama seperti kebanyakan perilaku manusia lainnya - adalah hasil kombinasi rumit faktor bawaan dan lingkungan. Tidak bisa disimpulkan hanya satu faktor saja yang lebih dominan.

Penelitian lain mengkritik pertanyaan tentang asal muasal ini. Mengapa kita tidak pernah bertanya, darimana dorongan heteroseks datang? Hanya karena kebanyakan orang di negara Barat berkulit putih, apakah perlu kita menanyakan ‘mengapa kulitmu hitam’ pada mereka yang berkulit hitam?

Lagipula, entah bawaan atau lingkungan, penyebab tidak bisa dijadikan dasar memutuskan dosa atau tidak. Hanya karena psikopat dilahirkan tanpa kemampuan berempati bukan berarti membunuh tidak dosa. Demikian juga anak yang dibesarkan dalam keluarga yang penuh kekerasan bukan berarti berhak melakukan kekerasan. Dosa atau tidak, harus diputuskan berdasarkan Alkitab.

Lalu Apa Kata Alkitab tentang Homoseksualitas?
Setidaknya ada 6 bagian Alkitab yang secara eksplisit menyinggung hubungan sesama jenis. Salah satunya adalah kisah Lot yang dikeroyok warga karena mereka ingin berhubungan seks sesama jenis dengan tamunya. Di kitab Imamat 18: 22 dan 20:13 juga ada larangan (plus hukumannya) untuk praktik homoseks. Ayat lain yang terkenal adalah Roma 1:27, ketika Paulus mengatakan: “suami-suami meninggalkan persetubuhan yang wajar dengan isteri-isteri mereka … sehingga mereka melakukan kemesuman, laki-laki dengan laki-laki …”. Ayat-ayat ini menjadi dasar bagi pihak yang anti-homoseks. Mereka mengklaim bahwa Alkitab jelas-jelas menentang homoseksualitas.

Bagaimana dengan pihak yang pro? Mereka berargumen bahwa Alkitab harus dipahami dalam konteks dan zamannya, sehingga maksud Tuhan bisa kita mengerti. Misalnya dalam kisah Lot, jangan-jangan dosa yang terkutuk adalah pemerkosaan beramai-ramai terhadap tamu yang berkunjung, bukan relasi sesama jenisnya? Demikian pula Roma 1:27, Paulus menceritakan bermacam-macam akibat penyembahan berhala termasuk persetubuhan yang tidak wajar dengan sesama jenis. Pada zaman itu kuil-kuil berhala sangat dekat dengan praktik seksual, bahkan ada prostitusi di kuil-kuil tersebut. Ini tentu berbeda dengan relasi sesama jenis zaman sekarang yang berdasarkan cinta kasih dan respek. (Analisis selengkapnya terhadap keenam bagian Alkitab ini bisa dibaca di tulisan G.B. Sayler, 2005.)

Lalu, mana interpretasi yang lebih benar, atau istilah teologisnya, yang eksegesis? Mengapa ketika Yesus berkata “Dan jika matamu menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu” (Mat 18:9), kita menganggapnya hanya kiasan. Tuhan tidak serius tapi cuman bermain kata-kata hiperbolik belaka, makanya kita tidak perlu sungguhan mempraktikkannya. Tapi ketika Alkitab menulis “Bawalah seluruh persembahan persepuluhan itu … dan ujilah Aku, apakah Aku tidak membukakan bagimu tingkap-tingkap langit dan mencurahkan berkat kepadamu sampai berkelimpahan” (Mal 3:10), kita dengan senang hati menganggap Tuhan serius, bukan kiasan. Tidak ada jawaban yang mudah untuk mengklaim mana tafsiran Alkitab yang paling benar. Jangankan tafsirannya, kriteria untuk membuat tafsiran saja tidak pernah 100% sepakat antar pakar hermeneutika/ilmu tafsir Alkitab. (Analisis lebih detail tentang ini bisa ditemukan di tulisan-tulisan Dale Martin tentang konsep ‘the myth of textual agency’. Sudah saya rangkum juga di artikel lain di blog ini)

Seks, Alkitab, dan Sejarah
Menambahkan faktor sejarah ke dalam perdebatan akan memperlengkap pemahaman kita tentang homoseksualitas, dan juga seksualitas secara umum. Tulisan lama dari teolog Prof Walter Wink (1979) sangat bermanfaat untuk ini.

Prof Wink mengungkap fakta sejarah yang kurang menggembirakan, terutama bagi orang Kristen yang ingin jawaban gampangnya. Ia menunjukkan bahwa Alkitab sebenarnya sama sekali tidak menyediakan panduan etika seksual. Yang ada di Alkitab hanyalah cerita tentang praktik budaya seksual di zaman tertentu yang tidak pernah bisa kita jadikan pegangan abadi.

Ia membuktikan argumennya dengan memaparkan praktik-praktik seputar seks dan pernikahan yang: (a) dianggap wajar di zaman Alkitab, namun sungguh mengerikan bagi kita sekarang, dan (b) kita anggap wajar di zaman sekarang, padahal dilarang di zaman Alkitab.

Berikut daftar praktik-praktik tersebut:
  1. Perjanjian Lama (PL) dan Perjanjian Baru (PB) tidak pernah terang-terangan menentang praktik poligami dan bergundik (perempuan yang tinggal dengan laki-laki tanpa menikah). Mengapa gereja zaman sekarang tidak mengijinkan poligami? Juga bergundik? Apa dasar Alkitab nya? 
  2. Pada zaman Alkitab pernikahan tidak perlu pacaran, tidak perlu saling mengenal, tidak perlu cinta, bahkan tidak perlu persetujuan orang yang bersangkutan. Yang harus setuju adalah keluarga/ayahnya. Saya yakin tidak ada gereja yang mengajarkan ini zaman sekarang. 
  3. Ketika suami meninggal tanpa memiliki anak, istri yang ditinggalkannya harus menikah dengan saudara laki-laki suaminya satu per satu, hingga ia memiliki anak. Yesus tidak mengutuk praktik aneh ini (Markus 12:18-27). Mengapa kita mengabaikan ayat ini dengan mudah, dan mati-matian mempertahankan ayat tentang homoseksualitas? 
  4. Di Perjanjian Lama (PL), orang Israel dilarang berhubungan seks selama 7 hari masa menstruasi. (Im 18:29, 15:19-24). Jika ini dilakukan, maka mereka diusir dari komunitas atau dirajam. 
  5. Pengantin perempuan yang tidak perawan saat malam pernikahan dirajam hingga mati (Ul 22:13-21). Mengapa ini tidak kita lakukan lagi di zaman sekarang? 
  6. Air mani dan darah menstruasi dianggap najis (Im 15:16-24). Siapa menyentuhnya najis hingga tujuh hari. Tapi ini kita abaikan begitu saja, sementara Imamat 18 dan 20 tentang homoseksualitas tetap kita pegang teguh. 
  7. Israel mempraktikkan pernikahan endogami, yaitu menikah hanya dengan sesama dua belas suku Israel. Adakah gereja zaman sekarang yang mengajarkan pernikahan harus dengan yang sama suku/bangsa? 
  8. Perempuan di zaman Alkitab dinikahkan pada usia yang sangat muda (11-13 tahun). Berarti undang-undang anti pedofilia bertentangan dengan Alkitab? 
  9. Seks dengan budak dan tawanan adalah wajar. Majikan bisa memperlakukan mereka sesuka hatinya. PL dan PB tidak pernah mengutuk hal ini. Tidak heran 150 tahun yang lalu di Amerika Serikat perlakuan mengerikan terhadap budak sering di-back up dengan ayat Alkitab (seperti 2 Sam 5:13, Hakim-hakim 19-21, Bil 31:18). 
  10. Perceraian diijinkan oleh hukum Musa (Ul 24:1-4), namun Yesus menentangnya (Mar 10:1-12, Mat 19:9).
Apa yang bisa kita pelajari dari semua ini? Nampaknya konsep dosa dan etika seksual selalu berganti sepanjang sejarah. Saya sih setuju dengan argument Prof Wink: Alkitab tidak menyediakan aturan baku tentang seksualitas yang berlaku sepanjang zaman. Alkitab hanya menceritakan praktik-praktik seks di budaya dan zaman tertentu.

Ini bukan hal baru. Coba kita tengok praktik-praktik lain di luar seksualitas. Seperti genosida (pembasmian etnis) misalnya, Tuhan sendiri yang memerintahkan orang Israel membasmi bangsa kafir, bahkan perempuan, anak-anak, dan ternak dituntut untuk dihabisi semuanya. Syukurlah praktik ini sudah tidak kita lakukan lagi. Contoh lain, kita meyakini bahwa keluarga adalah tulang punggung masyarakat. Slogannya: Keluarga kuat berarti masyarakat kuat. Kita lupa bahwa konsep keluarga telah mengalami banyak perubahan sepanjang sejarah. Keluarga yang kita kenal sekarang ini hanyalah keluarga inti, yaitu satu ayah, satu ibu, dan anak-anak. Kita lupa bahwa di masa lalu tidak begitu. Keluarga besar (extended family) tinggal bersama dalam satu rumah. Paman dan bibi, kakek dan nenek, sepupu dan keponakan, semua berinteraksi sangat intensif. Di masa depan mungkin sekali single parent family menjadi bentuk yang paling umum. Bisa saja kan? Masih banyak contoh lain yang tidak mungkin dipaparkan di sini satu per satu: perbudakan, diskriminasi ras, emansipasi perempuan, dll.

Keyakinan kita tentang apa yang benar dan salah telah banyak bergeser dari apa yang tertulis secara harafiah di Alkitab. Makanya saya berharap kita tidak terkejut jika apa yang kita yakini sekarang akan (dan harus) berubah di masa depan.

So, anything goes?
Jadi bagaimana dong? Apakah ini berarti kita bebas melakukan apa saja, karena toh Alkitab tidak menyediakan aturan baku tentang seks? Boleh seenaknya dan sesukanya? Apakah nantinya tidak hancur masyarakat ini?

Justru sebaliknya! Kita sebagai orang Kristen harus lebih berhati-hati dan rajin mendalami Alkitab. Kita tidak bisa lagi dengan mudah mengatakan “pokoknya Alkitab bilang itu dosa”. Kita tidak bisa lagi memperlakukan Alkitab seperti buku manual, atau buku kitab peraturan lalu lintas. Alkitab harus kita pahami, maknai, renungkan, dan terapkan dengan hati-hati sesuai konteks dan zamannya. Kita harus mencari apa maksud Tuhan dibalik kisah-kisah Alkitab, bukan secara sederhana mengutip dan meniru apa yang tertulis di sana. (Selengkapnya bisa dibaca di artikel ‘Mitos Agensi Tekstual’ di blog ini.)

Tentang isu marriage equality di New Zealand
Beberapa bulan ini topik pernikahan homoseksual lagi hot di New Zealand. Pemerintah sedang mempertimbangkan mengganti undang-undang pernikahan agar pasangan homoseksual bisa menikah secara sah, bukan cuma civil union seperti selama ini. Debat-debat pun mengemuka antara pihak yang pro vs kontra.

Pendapat saya, kita tidak perlu terjebak dalam dua pilihan pro vs kontra sambil saling ngotot, marah, dan saling mengejek. Di zaman ini kita tidak bisa membuat semua orang memiliki pandangan yang sama, bukan? Ada orang yang meyakini Yesus adalah Putra Allah, ada yang meyakini Muhammad adalah rasul Allah. Tidak bisa dipaksa untuk saling sepakat. Nah, tugas pemerintah adalah memastikan orang-orang yang berkeyakinan beda ini bisa hidup bersama dengan damai. Saya mengusulkan pemerintah menarik diri dari urusan pernikahan, sama seperti pemerintah (New Zealand dan kebanyakan negara barat lain) menarik diri dari urusan agama. Agama tidak diatur oleh negara. Orang boleh meyakini apapun tentang Tuhan, boleh beribadah dengan cara apapun, selama tidak membunuh orang lain, tidak bunuh diri bersama, tidak menyiksa orang lain, tidak bikin keributan, dan tetap membayar pajak tentunya. Demikian juga usulan saya tentang pernikahan. Biarlah pernikahan menjadi urusan pribadi/gereja/keluarga masing-masing. Tugas berat pemerintah adalah merevisi undang-undang lain seperti undang-undang adopsi, pajak, visa, dan lain-lain tanpa melibatkan pernikahan.


Bacaan lebih lanjut:
Holben, L. R. (1999). What Christians think about homosexuality: Six representative viewpoints. Bibal Press.
Sayler, G. B. (2005). Beyond the Biblical impasse: Homosexuality through the lens of theological anthropology. Dialog: A Journal of Theology, 44(1), 81-89.
Wijaya Mulya, T. (in press). Exploring same-sex attaction in Indonesian churches: Teachings, attitudes, and experiences. ANIMA Indonesian Psychological Journal.
Wink, W. (1979). Homosexuality and the Bible. Christian Century Magazine. Diunduh dari: http://www.bridges-across.org/ba/winkhombib.htm