Mungkin.
Dulu sih saya super-yakin kalau
Tuhan itu ada. Tuhan itu maha kuasa mengatur kehidupan manusia. Dan Tuhan itu
sungguh mencintai saya hingga rela mati di atas kayu salib demi menyelamatkan
saya.
Dulu sih, saya selalu suka ke
gereja. Ngga cuman ibadah minggu, tapi juga komunitas sel, persekutuan doa,
persekutuan pemuda, pelayanan sekolah minggu, doa semalam suntuk, rapat,
pelayanan dapur, bersih-bersih gereja, nongkrong, makan bakso di depan gereja,
main bola sama temen2 gereja, semuanya deh. Saya menikmati riuhnya gereja
pentakosta-karismatik, dan juga keteduhan gereja protestan. Saya suka lagu
rohani terkini bernada rock ala Hillsong, lagu kristen berbahasa Jawa yang
mengalun, juga lagu himne berusia ratusan tahun dari Eropa.
Tapi belakangan ini mulai berbeda. Saya
ngga tertarik dengan khotbah di gereja pada umumnya, ngga setuju dengan program-program
gereja yang cenderung egois dan memperkaya diri sendiri, ngga suka cara
teman-teman gereja berbicara merendahkan agama lain, ngga menikmati kalimat-kalimat
kosong yang diucapkan dalam liturgi, ngga suka dengan kecuekan orang kristen
terhadap masalah-masalah sosial, dan bosan dengan tuduhan-tuduhan picik
terhadap filsafat di luar kekristenan. Ini bukan salah mereka sih, dan lagian
saya tidak mengalami konflik interpersonal dengan siapapun di gereja. Yang jadi
masalah adalah iman kristen yang mendasari seluruh kehidupan bergereja ini.
Semua bermula dari kecintaan saya
mengajukan pertanyaan dan memperhatikan mereka yang terpinggirkan. Entah
mengapa saya selalu gelisah dengan ketidakadilan sosial. Penindasan terhadap
perempuan atas nama Tuhan, misalnya, selalu saya tentang habis-habisan. Tapi
isu kesetaraan gender mah sudah ngga hot lagi. Gereja-gereja di Indonesia nampaknya
sudah lebih melunak urusan gender, atau setidaknya sudah tidak bernada tinggi
kalau saya ngomong tentang kesetaraan gender. Yang lebih sensitif adalah urusan
seksualitas. Sedikit sekali orang kristen yang sepaham dengan saya tentang seks
sesama jenis misalnya. Di gereja saya dulu, seks selalu dijadikan musuh utama
anak muda kristen. Energi misterius ini selalu dilawan, ditekan, dialihkan,
kalau perlu dimusnahkan, sampai kita menikah. Dan saya termasuk yang taat lho!
Siapa menyangka, seksualitas justru menjadi titik kunci perubahan keyakinan
saya tentang natur Tuhan, manusia, dan pengetahuan.
Karya pertama yang signifikan dalam
perjalanan ini adalah artikel dari Prof Walter Wink tahun 1979 tentang etika
seksual. Argumen utama beliau: alkitab tidak menyediakan panduan etika seksual
sama sekali. Atau sederhananya, alkitab sama sekali tidak bilang mana seks yang
dosa dan yang tidak dosa. Alkitab hanya menceritakan kebiasaan budaya (Yahudi
kuno) terkait seks. Makanya etika seksual kita harus bersumber dari prinsip
etik yang lain, seperti hukum kasih misalnya. Untuk membuktikan argumennya,
beliau memaparkan berbagai kebiasaan terkait seks dan pernikahan yang: (1)
sangat aneh dan mengerikan di zaman sekarang, namun dianggap wajar oleh
alkitab; dan (2) sangat wajar di zaman sekarang, tapi dianggap tidak bermoral
di zaman alkitab. Paling gampang adalah praktik poligami dan gundik. Yesus
tidak secara terang-terangan melarang poligami dan gundik lho, Paulus juga
hanya menyarankan monogami untuk penatua saja. Tapi sejak sekitar tahun 1000
gereja melarang poligami. Contoh lain adalah pernikahan levirat, yaitu ketika
suami meninggal tanpa anak maka istri harus menikahi saudara laki-laki suaminya
satu per satu hingga memiliki anak. Yesus tidak menentang hal ini (Markus 12:
18-27), mengapa kita tidak lagi mempraktikkannya sekarang? Padahal ini perintah yang tertulis di alkitab
lho. Contoh lain lagi, jika seorang laki-laki melihat seorang gadis di jalan dan
memperkosanya, maka ini bukanlah dosa perzinahan. Dosa perzinahan hanyalah
kalau seorang lelaki merebut istri lelaki yang lain. Ulangan 22:28-29 hanya
meminta si laki-laki membayar 50 keping perak dan menikahi perempuan itu. Di
zaman sekarang, mengapa gereja tidak mengajarkan korban perkosaan untuk dinikahkan
dengan pemerkosanya?
Tulisan Prof Wink ini membuat saya
menyadari bahwa keyakinan moral kita yang katanya bersumber dari alkitab dan
mutlak kebenarannya itu ternyata tidak semutlak itu. Kalau kita menelaah
alkitab lebih jeli (dan tidak sekadar manut apa kata pendeta), ternyata apa
yang kita percayai saat ini hanyalah secuil dari sejarah panjang kekristenan
yang penuh dengan hal-hal tidak masuk akal – seperti misalnya, memenjarakan
orang yang percaya bahwa bumi berputar mengelilingi matahari, menyiksa
perempuan yang dituduh penyihir, dan mengeksekusi mereka yang tidak setuju
dengan pendapat Paus.
Mengapa bisa begitu yah? Mengapa agama dan
kitab suci yang saya percayai sebagai kebenaran mutlak ini ternyata tidak sebegitu
mutlaknya? Mungkin karena hidup kita terlalu pendek. Terlalu pendek, sehingga
kita lupa sejarah. Kita lupa betapa interpretasi kita terhadap alkitab selalu
dimediasi oleh budaya dan ideologi di zaman kita hidup. Contoh yang sederhana
adalah sikap gereja terhadap perbudakan. Apakah gereja sejak awal menentang
perbudakan? Enggak! Meskipun alkitab sudah ada sejak 1700 tahun yg lalu, baru
200 tahun belakangan gereja menentang perbudakan. Kenapa bisa begitu? Apakah
bapak-bapak gereja abad pertengahan idiot semua sehingga tidak mampu mendengar
apa yang alkitab katakan dengan jelas? Tentu tidak kan. Lagipula, kenapa sih
zaman sekarang ini orang kristen koq menentang perbudakan, padahal di alkitab
ngga ada tuh satupun ayat yang jelas-jelas melarang perbudakan?
Contoh lain adalah pendapat populer di
gereja-gereja zaman sekarang yang bilang bahwa hal terpenting dalam iman
kristen kita adalah “hubungan pribadi” dengan Tuhan. Terdengar familiar bukan?
Terlebih kalau kita ke gereja pentakosta-karismatik. Tapi coba di-search di
alkitab, apa ada satu saja ayat yang bilang kalau kita perlu menjalin “hubungan
pribadi” dengan Tuhan? Paling-paling yang ada hanyalah Yesus yang membuat
terobosan ketika mengajak kita menyebut Tuhan itu Bapa sehingga terdengar lebih
intim dibandingkan Raja maha agung yang rasanya jauh dan tidak terjangkau. Tapi
jangan lupa bahwa pola relasi bapak-anak di zaman Yesus itu juga berbeda lho
dengan pola relasi bapak-anak zaman sekarang. Apa iya anak itu bisa ngomong
bebas dengan bapaknya tentang apapun juga? Belum lagi perbedaan relasi bapak
dengan anak lelaki dan anak perempuan belum tentu sama seperti zaman sekarang
lho. Kita telah bersikap anakronistis, atau mengabaikan konteks sejarah.
Lalu, apakah ini berarti keyakinan iman
kita saat ini hanyalah kebenaran sementara, terombang-ambing oleh situasi
zaman, tanpa pernah ada panduan “objektif”nya? Semakin saya merenungkan hal
ini, semakin saya membaca karya-karya teologi, semakin banyak saya mengunjungi
berbagai gereja, semakin saya merasa iya. Ada ngga gereja yang bersedia
menikahkan kaum gay? Ada. Ada ngga gereja yang tidak percaya trinitas? Ada. Ada
ngga gereja yang mendukung perang? Ada. Ada ngga gereja yang tidak merayakan
Natal? Ada. Ada ngga gereja yang menyetujui perceraian? Ada. Ada ngga gereja
yang mengakui keselamatan di luar Yesus? Ada.
Saya meyakini bahwa agama apapun,
pengetahuan apapun, iman apapun, semua hanyalah salah satu versi cara
menerangkan realita kehidupan. Semua memiliki asumsi masing-masing, semua punya
bukti-buktinya masing-masing. Tidak terkecuali cara saya menjelaskan di sini,
juga sama asumtif nya lho. Ada ngga gereja yang sepakat dengan pemikiran saya
di sini? Ada juga!
Jadi kalau begitu apakah agama dan segala
doktrin yang diciptakan itu hanyalah ilusi belaka, yang kebetulan dipercaya
oleh (dipaksakan ke) para pengikutnya? Bagi saya, iya. Karena kalau saya meyakini
bahwa hanya agama kristen saja lah yang paling benar, maka semua pemeluk agama
lain adalah para idiot yang tidak mampu melihat kebenaran sejati yang begitu
mudah kita lihat. Tapi jangan lupa, ilusi yang namanya doktrin agama itu bukan
sekadar ilusi lho. Ilusi itu bisa membuat orang merasa bahagia atau sedih, bisa
menggagalkan sebuah pernikahan, bisa membuat orang berani membunuh tetangganya,
bisa memulai perang atau mengakhirinya, bisa membuat orang kaya raya, bisa
membuat orang dituduh tanpa bukti lalu diculik, disiksa, dan dibunuh.
Dan bukan cuman agama lho, sains yang
disebut-sebut objektif itu pun hanyalah sebuah cara menerangkan realita, yang
kebetulan sangat populer saat ini. Saya akan menunjukkan bahwa metode ilmiah
juga berlandaskan asumsi. (Sebenarnya bukan saya sih, tapi seorang filsuf
pemenang Nobel bernama Thomas Kuhn sudah menunjukkannya di tahun 1967 yang lalu.)
Kunjungan saya ke komunitas atheist di Auckland makin meyakinkan saya, bahwa
mereka sama “religius”nya dengan orang beragama. Mereka juga cenderung dogmatik
dan tidak terima kalau dibilang berlandaskan asumsi. Mereka juga marah kalau
saya tidak setuju dengan teori evolusi. Contoh sederhananya adalah asumsi bahwa
alam semesta ini bekerja secara mekanistik sesuai hukum-hukum tertentu,
sehingga tugas ilmuwan adalah menemukan hukum-hukum alam tersebut. Dengan kata
lain, mereka berasumsi bahwa tidak
ada Tuhan yang bisa mengintervensi hukum alam tersebut sekehendak hatiNya.
Metode ilmiah telah menunjukkan bukti-bukti yang luar biasa banyaknya untuk
mengokohkan asumsi ini. Tapi sayangnya, masih ada saja fenomena yang tidak
mampu mereka jelaskan, seperti praktik perdukunan ataupun mujizat di gereja.
Kalau kita menengok sejarah ilmu pengetahuan, banyak juga lho asumsi sains yang
digantikan oleh asumsi sains yang lain, karena bukti-bukti baru sudah tidak
cocok dengan asumsi yang lama itu. Misalnya asumsi bahwa bumi itu datar, bahwa
matahari mengelilingi bumi, atau yang masih kontroversial, bahwa tidak ada
kehidupan setelah kematian.
Sampai di sini saya rangkum sebentar yah. Jadi,
semakin saya menelaah perjalanan sejarah, dan membuka mata terhadap keragaman
budaya dan kepercayaan di dunia ini, semakin saya merasa bahwa ada banyak versi
cara untuk menjelaskan realita kehidupan, atau istilah kerennya keyakinan ontologis
yang beragam. Mengapa bisa beragam, tentu karena kita dibesarkan dalam
komunitas yang berbeda-beda. Coba bayangkan kalau kita lahir dan besar di
sebuah keluarga atheis di New Zealand, atau di komunitas Muslim Indonesia, atau
di zaman Romawi, tentu kita punya
“logika” yang berbeda-beda tentang kehidupan. Di zaman global ini kita dengan
mudah menemui orang-orang yang pola pikir atau perbuatannya “tidak masuk akal”.
Tentunya tidak masuk dalam “akal kita”, sementara bagi mereka ya itu masuk
akal, malah kita yang gak masuk akal bagi mereka. Atau ngga perlu jauh-jauh ke
dunia global, coba bicara dengan orang Indonesia yang agamanya beda. Koq
bisa-bisanya yah ada orang yang percaya pada banyak dewa, dan bukan satu Tuhan?
Koq bisa-bisanya ada orang yang ngga mau makan babi? Koq bisa-bisanya ada orang
yang menyembah patung? Sementara bagi mereka, koq bisa-bisanya yah orang
kristen itu percaya bahwa Tuhan itu beranak dan diperanakkan? Koq bisa-bisanya
orang kristen percaya Tuhannya lahir ke dunia dari rahim perawan? Gak masuk
akal!
Praktik saling menidak-masuk-akal-kan
kepercayaan orang ini lah yang belakangan membuat saya muak berada di gereja.
Saya lelah dengan teman-teman kristen yang mengejek interpretasi katolik. Saya
capek dengan teman-teman kristen yang mendemonisasi islam atau menyamakan islam
dengan terorisme. Tapi saya sadar bahwa saya juga sering menertawakan keyakinan
dan praktik gereja lain (misalnya gereja karismatik) yang menurut saya lucu
sekali. Saya ternyata sama buruknya dengan teman-teman kristen saya yang
memuakkan itu! Makanya saya sekarang berjanji untuk belajar tidak menertawakan
keyakinan orang lagi, sekalipun tidak masuk akal bagi saya. Toh keyakinan saya
juga mengandung unsur-unsur yang menggelikan bagi orang lain. Setiap agama dan
kepercayaan (termasuk sains) selalu memuat hal-hal tertentu yang aneh dan
menggelikan, tapi setiap agama dan kepercayaan itu juga selalu memiliki
kebijaksanaannya masing-masing lho! Daripada saling menertawakan, saya sekarang
memilih untuk menghargai dan belajar sesuatu yang baik dari mereka
masing-masing.
Jadi simpulan saya sementara ini, keyakinan
ontologis dan epistemologis manusia itu selalu berbeda-beda, dan selalu
terbatasi oleh budaya dan wacana yang dominan di lingkungan kita berada. Usaha
untuk menghilangkan keragaman ini (a.k.a politik totalitarian) justru telah
menghasilkan tragedi-tragedi paling mengerikan sepanjang sejarah umat manusia,
baik dari sayap kanan seperti fasisme, maupun dari sayap kiri seperti
komunisme. Makanya saya tidak setuju dengan orang kristen yang merasa bahwa
dunia ini pasti akan lebih baik kalau semua orang di-kristen-kan. Buat saya,
akan lebih baik kalau manusia dibebaskan meyakini apapun “kebenaran” yang
mereka ingin percayai, asalkan konsekuensi etik kepercayaan mereka ngga ngawur.
Misalnya, boleh saja percaya bahwa Tuhan itu ada satu, tiga, nol, ataupun lima
ratus, asalkan kepercayaanmu tidak membenarkan dirimu untuk membunuh keluarga
saya atas nama Tuhan mu. Atau membenarkanmu untuk memperbudak manusia lain.
Masalahnya, tidak mudah hidup berkomunitas
dengan segerombolan orang yang tidak setuju dengan saya (yang disebut “gereja”
itu lho), terlebih karena mereka berasumsi bahwa saya harus sama dengan
mereka. Dan kalau mereka tahu bahwa saya
tidak sama dengan mereka, maka mereka ngotot mengembalikan saya ke “jalan yang
benar”. Saya sih respek dengan keyakinan mereka itu, tapi saya ngga ngikut. Saya
ngga masalah kalo gereja cuek dengan konflik berdarah di Syria, penculikan 270
siswi di Nigeria, pemenjaraan wartawan di Mesir, dan masalah sosial lainnya.
Saya ngga masalah gereja cuman bingung gimana caranya menambah jemaat dan
menambah pemasukan. Tapi saya ngga bisa dipaksa jadi seperti itu. Mungkin lebih
gampang untuk tidak lagi bergaul dengan komunitas seperti itu.
Tapi, bagaimanapun menyebalkannya orang
kristen di sekitar saya, mereka tidak bisa membuat saya menolak dan menghapus
kekristenan dari hidup saya. Menjadi orang “kristen” telah menjadi bagian
penting dari hidup saya, entah itu kristen pantekosta, karismatik, reformed,
injili, liberal, maupun kristen agnostik. Seperti halnya saya tidak mungkin
bisa menghapus ke-indonesia-an, ke-tionghoa-an, ke-jawa-an sebagai bagian dari
siapa saya. Membaca alkitab masih merupakan keasikan tersendiri bagi saya,
meskipun saya tidak lagi menggunakan huruf kapital utk alkitab. Buku istimewa
itu masih merupakan literatur yang sangat menarik, penuh dengan inspirasi dan
muatan sejarah dan budaya yang membantu saya untuk menjadi manusia yang lebih
bijak.
So, kalau saya ditanya, “Menurutmu Tuhan
itu ada, atau cuman konsep bikinan manusia sih, Teguh?”, maka jawab saya
bakalan berupa pertanyaan juga: “Menurutmu cinta kasih itu beneran ada di dunia
ini, atau cuman konsep bikinan manusia? Menurutmu keadilan sosial itu beneran
ada, atau cuman ilusi belaka?” Lagipula, seandainya cinta kasih, kebaikan,
kedamaian, dan keadilan sosial cuman konsep buatan manusia, apakah ini berarti
bahwa kita tidak perlu percaya lagi akan hal-hal itu? Tidak perlu lagi
memperjuangkannya? Ngga juga kan..
Dan kalau saya ditanya “Kamu ini orang
kristen bukan sih, Teguh?” Jawaban saya bakalan sangat tergantung pada apa arti
orang kristen menurut si penanya. Kalau menjadi kristen berarti mengaku percaya
pada seperangkat doktrin buatan manusia mengatasnamakan Tuhan, maka saya malas
dicap sebagai orang kristen. Tapi kalau menjadi seorang kristen berarti belajar
mengembangkan cara hidup yang penuh kasih, sukacita, damai sejahtera, kebaikan,
dan keadilan seperti yang diinspirasikan Yesus dalam kelebihan dan
kekurangannya, maka saya sepenuhnya kristen!
No comments:
Post a Comment