Tuesday, 4 November 2014

Jadi kamu percaya Tuhan nggak, Teguh?



Mungkin.

Dulu sih saya super-yakin kalau Tuhan itu ada. Tuhan itu maha kuasa mengatur kehidupan manusia. Dan Tuhan itu sungguh mencintai saya hingga rela mati di atas kayu salib demi menyelamatkan saya.

Dulu sih, saya selalu suka ke gereja. Ngga cuman ibadah minggu, tapi juga komunitas sel, persekutuan doa, persekutuan pemuda, pelayanan sekolah minggu, doa semalam suntuk, rapat, pelayanan dapur, bersih-bersih gereja, nongkrong, makan bakso di depan gereja, main bola sama temen2 gereja, semuanya deh. Saya menikmati riuhnya gereja pentakosta-karismatik, dan juga keteduhan gereja protestan. Saya suka lagu rohani terkini bernada rock ala Hillsong, lagu kristen berbahasa Jawa yang mengalun, juga lagu himne berusia ratusan tahun dari Eropa.

Tapi belakangan ini mulai berbeda. Saya ngga tertarik dengan khotbah di gereja pada umumnya, ngga setuju dengan program-program gereja yang cenderung egois dan memperkaya diri sendiri, ngga suka cara teman-teman gereja berbicara merendahkan agama lain, ngga menikmati kalimat-kalimat kosong yang diucapkan dalam liturgi, ngga suka dengan kecuekan orang kristen terhadap masalah-masalah sosial, dan bosan dengan tuduhan-tuduhan picik terhadap filsafat di luar kekristenan. Ini bukan salah mereka sih, dan lagian saya tidak mengalami konflik interpersonal dengan siapapun di gereja. Yang jadi masalah adalah iman kristen yang mendasari seluruh kehidupan bergereja ini.

Semua bermula dari kecintaan saya mengajukan pertanyaan dan memperhatikan mereka yang terpinggirkan. Entah mengapa saya selalu gelisah dengan ketidakadilan sosial. Penindasan terhadap perempuan atas nama Tuhan, misalnya, selalu saya tentang habis-habisan. Tapi isu kesetaraan gender mah sudah ngga hot lagi. Gereja-gereja di Indonesia nampaknya sudah lebih melunak urusan gender, atau setidaknya sudah tidak bernada tinggi kalau saya ngomong tentang kesetaraan gender. Yang lebih sensitif adalah urusan seksualitas. Sedikit sekali orang kristen yang sepaham dengan saya tentang seks sesama jenis misalnya. Di gereja saya dulu, seks selalu dijadikan musuh utama anak muda kristen. Energi misterius ini selalu dilawan, ditekan, dialihkan, kalau perlu dimusnahkan, sampai kita menikah. Dan saya termasuk yang taat lho! Siapa menyangka, seksualitas justru menjadi titik kunci perubahan keyakinan saya tentang natur Tuhan, manusia, dan pengetahuan.

Karya pertama yang signifikan dalam perjalanan ini adalah artikel dari Prof Walter Wink tahun 1979 tentang etika seksual. Argumen utama beliau: alkitab tidak menyediakan panduan etika seksual sama sekali. Atau sederhananya, alkitab sama sekali tidak bilang mana seks yang dosa dan yang tidak dosa. Alkitab hanya menceritakan kebiasaan budaya (Yahudi kuno) terkait seks. Makanya etika seksual kita harus bersumber dari prinsip etik yang lain, seperti hukum kasih misalnya. Untuk membuktikan argumennya, beliau memaparkan berbagai kebiasaan terkait seks dan pernikahan yang: (1) sangat aneh dan mengerikan di zaman sekarang, namun dianggap wajar oleh alkitab; dan (2) sangat wajar di zaman sekarang, tapi dianggap tidak bermoral di zaman alkitab. Paling gampang adalah praktik poligami dan gundik. Yesus tidak secara terang-terangan melarang poligami dan gundik lho, Paulus juga hanya menyarankan monogami untuk penatua saja. Tapi sejak sekitar tahun 1000 gereja melarang poligami. Contoh lain adalah pernikahan levirat, yaitu ketika suami meninggal tanpa anak maka istri harus menikahi saudara laki-laki suaminya satu per satu hingga memiliki anak. Yesus tidak menentang hal ini (Markus 12: 18-27), mengapa kita tidak lagi mempraktikkannya sekarang?  Padahal ini perintah yang tertulis di alkitab lho. Contoh lain lagi, jika seorang laki-laki melihat seorang gadis di jalan dan memperkosanya, maka ini bukanlah dosa perzinahan. Dosa perzinahan hanyalah kalau seorang lelaki merebut istri lelaki yang lain. Ulangan 22:28-29 hanya meminta si laki-laki membayar 50 keping perak dan menikahi perempuan itu. Di zaman sekarang, mengapa gereja tidak mengajarkan korban perkosaan untuk dinikahkan dengan pemerkosanya?

Tulisan Prof Wink ini membuat saya menyadari bahwa keyakinan moral kita yang katanya bersumber dari alkitab dan mutlak kebenarannya itu ternyata tidak semutlak itu. Kalau kita menelaah alkitab lebih jeli (dan tidak sekadar manut apa kata pendeta), ternyata apa yang kita percayai saat ini hanyalah secuil dari sejarah panjang kekristenan yang penuh dengan hal-hal tidak masuk akal – seperti misalnya, memenjarakan orang yang percaya bahwa bumi berputar mengelilingi matahari, menyiksa perempuan yang dituduh penyihir, dan mengeksekusi mereka yang tidak setuju dengan pendapat Paus.

Mengapa bisa begitu yah? Mengapa agama dan kitab suci yang saya percayai sebagai kebenaran mutlak ini ternyata tidak sebegitu mutlaknya? Mungkin karena hidup kita terlalu pendek. Terlalu pendek, sehingga kita lupa sejarah. Kita lupa betapa interpretasi kita terhadap alkitab selalu dimediasi oleh budaya dan ideologi di zaman kita hidup. Contoh yang sederhana adalah sikap gereja terhadap perbudakan. Apakah gereja sejak awal menentang perbudakan? Enggak! Meskipun alkitab sudah ada sejak 1700 tahun yg lalu, baru 200 tahun belakangan gereja menentang perbudakan. Kenapa bisa begitu? Apakah bapak-bapak gereja abad pertengahan idiot semua sehingga tidak mampu mendengar apa yang alkitab katakan dengan jelas? Tentu tidak kan. Lagipula, kenapa sih zaman sekarang ini orang kristen koq menentang perbudakan, padahal di alkitab ngga ada tuh satupun ayat yang jelas-jelas melarang perbudakan?

Contoh lain adalah pendapat populer di gereja-gereja zaman sekarang yang bilang bahwa hal terpenting dalam iman kristen kita adalah “hubungan pribadi” dengan Tuhan. Terdengar familiar bukan? Terlebih kalau kita ke gereja pentakosta-karismatik. Tapi coba di-search di alkitab, apa ada satu saja ayat yang bilang kalau kita perlu menjalin “hubungan pribadi” dengan Tuhan? Paling-paling yang ada hanyalah Yesus yang membuat terobosan ketika mengajak kita menyebut Tuhan itu Bapa sehingga terdengar lebih intim dibandingkan Raja maha agung yang rasanya jauh dan tidak terjangkau. Tapi jangan lupa bahwa pola relasi bapak-anak di zaman Yesus itu juga berbeda lho dengan pola relasi bapak-anak zaman sekarang. Apa iya anak itu bisa ngomong bebas dengan bapaknya tentang apapun juga? Belum lagi perbedaan relasi bapak dengan anak lelaki dan anak perempuan belum tentu sama seperti zaman sekarang lho. Kita telah bersikap anakronistis, atau mengabaikan konteks sejarah.

Lalu, apakah ini berarti keyakinan iman kita saat ini hanyalah kebenaran sementara, terombang-ambing oleh situasi zaman, tanpa pernah ada panduan “objektif”nya? Semakin saya merenungkan hal ini, semakin saya membaca karya-karya teologi, semakin banyak saya mengunjungi berbagai gereja, semakin saya merasa iya. Ada ngga gereja yang bersedia menikahkan kaum gay? Ada. Ada ngga gereja yang tidak percaya trinitas? Ada. Ada ngga gereja yang mendukung perang? Ada. Ada ngga gereja yang tidak merayakan Natal? Ada. Ada ngga gereja yang menyetujui perceraian? Ada. Ada ngga gereja yang mengakui keselamatan di luar Yesus? Ada.

Saya meyakini bahwa agama apapun, pengetahuan apapun, iman apapun, semua hanyalah salah satu versi cara menerangkan realita kehidupan. Semua memiliki asumsi masing-masing, semua punya bukti-buktinya masing-masing. Tidak terkecuali cara saya menjelaskan di sini, juga sama asumtif nya lho. Ada ngga gereja yang sepakat dengan pemikiran saya di sini? Ada juga!

Jadi kalau begitu apakah agama dan segala doktrin yang diciptakan itu hanyalah ilusi belaka, yang kebetulan dipercaya oleh (dipaksakan ke) para pengikutnya? Bagi saya, iya. Karena kalau saya meyakini bahwa hanya agama kristen saja lah yang paling benar, maka semua pemeluk agama lain adalah para idiot yang tidak mampu melihat kebenaran sejati yang begitu mudah kita lihat. Tapi jangan lupa, ilusi yang namanya doktrin agama itu bukan sekadar ilusi lho. Ilusi itu bisa membuat orang merasa bahagia atau sedih, bisa menggagalkan sebuah pernikahan, bisa membuat orang berani membunuh tetangganya, bisa memulai perang atau mengakhirinya, bisa membuat orang kaya raya, bisa membuat orang dituduh tanpa bukti lalu diculik, disiksa, dan dibunuh.

Dan bukan cuman agama lho, sains yang disebut-sebut objektif itu pun hanyalah sebuah cara menerangkan realita, yang kebetulan sangat populer saat ini. Saya akan menunjukkan bahwa metode ilmiah juga berlandaskan asumsi. (Sebenarnya bukan saya sih, tapi seorang filsuf pemenang Nobel bernama Thomas Kuhn sudah menunjukkannya di tahun 1967 yang lalu.) Kunjungan saya ke komunitas atheist di Auckland makin meyakinkan saya, bahwa mereka sama “religius”nya dengan orang beragama. Mereka juga cenderung dogmatik dan tidak terima kalau dibilang berlandaskan asumsi. Mereka juga marah kalau saya tidak setuju dengan teori evolusi. Contoh sederhananya adalah asumsi bahwa alam semesta ini bekerja secara mekanistik sesuai hukum-hukum tertentu, sehingga tugas ilmuwan adalah menemukan hukum-hukum alam tersebut. Dengan kata lain, mereka berasumsi bahwa tidak ada Tuhan yang bisa mengintervensi hukum alam tersebut sekehendak hatiNya. Metode ilmiah telah menunjukkan bukti-bukti yang luar biasa banyaknya untuk mengokohkan asumsi ini. Tapi sayangnya, masih ada saja fenomena yang tidak mampu mereka jelaskan, seperti praktik perdukunan ataupun mujizat di gereja. Kalau kita menengok sejarah ilmu pengetahuan, banyak juga lho asumsi sains yang digantikan oleh asumsi sains yang lain, karena bukti-bukti baru sudah tidak cocok dengan asumsi yang lama itu. Misalnya asumsi bahwa bumi itu datar, bahwa matahari mengelilingi bumi, atau yang masih kontroversial, bahwa tidak ada kehidupan setelah kematian.

Sampai di sini saya rangkum sebentar yah. Jadi, semakin saya menelaah perjalanan sejarah, dan membuka mata terhadap keragaman budaya dan kepercayaan di dunia ini, semakin saya merasa bahwa ada banyak versi cara untuk menjelaskan realita kehidupan, atau istilah kerennya keyakinan ontologis yang beragam. Mengapa bisa beragam, tentu karena kita dibesarkan dalam komunitas yang berbeda-beda. Coba bayangkan kalau kita lahir dan besar di sebuah keluarga atheis di New Zealand, atau di komunitas Muslim Indonesia, atau di zaman Romawi, tentu kita  punya “logika” yang berbeda-beda tentang kehidupan. Di zaman global ini kita dengan mudah menemui orang-orang yang pola pikir atau perbuatannya “tidak masuk akal”. Tentunya tidak masuk dalam “akal kita”, sementara bagi mereka ya itu masuk akal, malah kita yang gak masuk akal bagi mereka. Atau ngga perlu jauh-jauh ke dunia global, coba bicara dengan orang Indonesia yang agamanya beda. Koq bisa-bisanya yah ada orang yang percaya pada banyak dewa, dan bukan satu Tuhan? Koq bisa-bisanya ada orang yang ngga mau makan babi? Koq bisa-bisanya ada orang yang menyembah patung? Sementara bagi mereka, koq bisa-bisanya yah orang kristen itu percaya bahwa Tuhan itu beranak dan diperanakkan? Koq bisa-bisanya orang kristen percaya Tuhannya lahir ke dunia dari rahim perawan? Gak masuk akal!

Praktik saling menidak-masuk-akal-kan kepercayaan orang ini lah yang belakangan membuat saya muak berada di gereja. Saya lelah dengan teman-teman kristen yang mengejek interpretasi katolik. Saya capek dengan teman-teman kristen yang mendemonisasi islam atau menyamakan islam dengan terorisme. Tapi saya sadar bahwa saya juga sering menertawakan keyakinan dan praktik gereja lain (misalnya gereja karismatik) yang menurut saya lucu sekali. Saya ternyata sama buruknya dengan teman-teman kristen saya yang memuakkan itu! Makanya saya sekarang berjanji untuk belajar tidak menertawakan keyakinan orang lagi, sekalipun tidak masuk akal bagi saya. Toh keyakinan saya juga mengandung unsur-unsur yang menggelikan bagi orang lain. Setiap agama dan kepercayaan (termasuk sains) selalu memuat hal-hal tertentu yang aneh dan menggelikan, tapi setiap agama dan kepercayaan itu juga selalu memiliki kebijaksanaannya masing-masing lho! Daripada saling menertawakan, saya sekarang memilih untuk menghargai dan belajar sesuatu yang baik dari mereka masing-masing.

Jadi simpulan saya sementara ini, keyakinan ontologis dan epistemologis manusia itu selalu berbeda-beda, dan selalu terbatasi oleh budaya dan wacana yang dominan di lingkungan kita berada. Usaha untuk menghilangkan keragaman ini (a.k.a politik totalitarian) justru telah menghasilkan tragedi-tragedi paling mengerikan sepanjang sejarah umat manusia, baik dari sayap kanan seperti fasisme, maupun dari sayap kiri seperti komunisme. Makanya saya tidak setuju dengan orang kristen yang merasa bahwa dunia ini pasti akan lebih baik kalau semua orang di-kristen-kan. Buat saya, akan lebih baik kalau manusia dibebaskan meyakini apapun “kebenaran” yang mereka ingin percayai, asalkan konsekuensi etik kepercayaan mereka ngga ngawur. Misalnya, boleh saja percaya bahwa Tuhan itu ada satu, tiga, nol, ataupun lima ratus, asalkan kepercayaanmu tidak membenarkan dirimu untuk membunuh keluarga saya atas nama Tuhan mu. Atau membenarkanmu untuk memperbudak manusia lain.

Masalahnya, tidak mudah hidup berkomunitas dengan segerombolan orang yang tidak setuju dengan saya (yang disebut “gereja” itu lho), terlebih karena mereka berasumsi bahwa saya harus sama dengan mereka.  Dan kalau mereka tahu bahwa saya tidak sama dengan mereka, maka mereka ngotot mengembalikan saya ke “jalan yang benar”. Saya sih respek dengan keyakinan mereka itu, tapi saya ngga ngikut. Saya ngga masalah kalo gereja cuek dengan konflik berdarah di Syria, penculikan 270 siswi di Nigeria, pemenjaraan wartawan di Mesir, dan masalah sosial lainnya. Saya ngga masalah gereja cuman bingung gimana caranya menambah jemaat dan menambah pemasukan. Tapi saya ngga bisa dipaksa jadi seperti itu. Mungkin lebih gampang untuk tidak lagi bergaul dengan komunitas seperti itu.

Tapi, bagaimanapun menyebalkannya orang kristen di sekitar saya, mereka tidak bisa membuat saya menolak dan menghapus kekristenan dari hidup saya. Menjadi orang “kristen” telah menjadi bagian penting dari hidup saya, entah itu kristen pantekosta, karismatik, reformed, injili, liberal, maupun kristen agnostik. Seperti halnya saya tidak mungkin bisa menghapus ke-indonesia-an, ke-tionghoa-an, ke-jawa-an sebagai bagian dari siapa saya. Membaca alkitab masih merupakan keasikan tersendiri bagi saya, meskipun saya tidak lagi menggunakan huruf kapital utk alkitab. Buku istimewa itu masih merupakan literatur yang sangat menarik, penuh dengan inspirasi dan muatan sejarah dan budaya yang membantu saya untuk menjadi manusia yang lebih bijak.

So, kalau saya ditanya, “Menurutmu Tuhan itu ada, atau cuman konsep bikinan manusia sih, Teguh?”, maka jawab saya bakalan berupa pertanyaan juga: “Menurutmu cinta kasih itu beneran ada di dunia ini, atau cuman konsep bikinan manusia? Menurutmu keadilan sosial itu beneran ada, atau cuman ilusi belaka?” Lagipula, seandainya cinta kasih, kebaikan, kedamaian, dan keadilan sosial cuman konsep buatan manusia, apakah ini berarti bahwa kita tidak perlu percaya lagi akan hal-hal itu? Tidak perlu lagi memperjuangkannya? Ngga juga kan..

Dan kalau saya ditanya “Kamu ini orang kristen bukan sih, Teguh?” Jawaban saya bakalan sangat tergantung pada apa arti orang kristen menurut si penanya. Kalau menjadi kristen berarti mengaku percaya pada seperangkat doktrin buatan manusia mengatasnamakan Tuhan, maka saya malas dicap sebagai orang kristen. Tapi kalau menjadi seorang kristen berarti belajar mengembangkan cara hidup yang penuh kasih, sukacita, damai sejahtera, kebaikan, dan keadilan seperti yang diinspirasikan Yesus dalam kelebihan dan kekurangannya, maka saya sepenuhnya kristen!

No comments:

Post a Comment