Thursday, 31 October 2013

Gereja A bilang A, gereja B bilang B, & gereja Z bilang Z. Trus gimana dong?



Waktu ke gereja A, katanya Saksi Yehova itu sesat dan seharus tidak boleh diterima oleh PGI.
Tapi waktu ke gereja B, katanya beragam cara orang mengagumi Yesus tidak perlu dihambat, termasuk Saksi Yehova ini.

Di gereja C, nyanyinya tenang dan kalem, soalnya katanya puji-pujian itu bukanlah pertunjukan band metal, tapi pengagungan kita pada Tuhan dari hati terdalam.
Di gereja D, nyanyinya pake full-band, sound systemnya superberisik, dan jemaatnya lompat-lompat kayak kuda lumping, soalnya katanya pujian itu harus kontekstual dan sepenuh jiwa raga.

Jemaat gereja E dijanjikan berkat dan sukses luar biasa - harta melimpah, mujizat, dan sukacita walau sana sini susah.
Jemaat gereja F diajak untuk meninggalkan cinta pada harta dan kenikmatan dunia, hidup sederhana, dan berbagi dengan kaum papa.

Di gereja G, keselamatan bisa didapat asalkan kita percaya dalam hati dan mengaku dengan mulut bahwa Yesus adalah Tuhan.
Di gereja H, keselamatan gak pake gitu-gitu, malah juga diakui ada lho di luar gereja!

Di gereja I, kalo mau pacaran mesti berdoa puasa dulu, minta ijin ke kakak pembina, dan diteguhkan oleh pendeta.
Di gereja J, pacaran ya pacaran aja kaleee.

Menurut gereja K, Israel dianggap bangsa pilihan Tuhan hingga saat ini, sehingga perang di Timur Tengah semata-mata adalah cara Tuhan menggenapi nubuatan Alkitab.
Di gereja L, perdamaian adalah harga mutlak.. kekerasan tidak dapat dibenarkan untuk tujuan apapun. Perang bukanlah cara Tuhan.

Gereja M percaya Allah Tritunggal.
Gereja N percaya Allah itu tunggal (beneran ada lho gereja spt ini).

Gereja O menarik diri dari dunia politik
Gereja P berpolitik sebagai praktik imannya.

Gereja Q melarang perceraian, karena hanya maut yang memisahkan pernikahan.
Di gereja R, lha, koq pendetanya sendiri bercerai ya toh.. (ini juga beneran lho)

Gereja S menyuruh istri tunduk pada suami.
Gereja T mengajarkan istri dan suami untuk saling menundukkan diri satu sama lain.

Gereja U merayakan natal besar-besaran.
Gereja V tidak merayakan natal karena tidak diperintahkan di Alkitab.

Gereja W ibadah di hari Minggu
Gereja X ibadah di hari Sabtu

Pendeta Gereja Y bilang dia yang paling benar.
Pendeta Gereja Z juga bilang dia yang paling benar.

Gereja memang beragam yah? Kadang keberagaman itu cuman akibat beda penekanan dan tidak terlalu dipermasalahkan. Tapi kadang ada juga yang beda doktrin secara mendasar dan sulit dipertemukan, bahkan sampai bertengkar lho. Kenapa bisa begitu? Dan gimana kita jemaat awam ini menghadapi perbedaan-perbedaan kayak gini? Yuk kita telusuri ke awal mulanya segala perbedaan ini muncul..

Penulis-Teks-Pembaca
Kekristenan adalah agama berbasis teks. Maksudnya, perkembangan agama Kristen berpijak pada sebuah kitab suci, yang namanya Alkitab. Tentu awalnya bukan begini, awalnya kan dari seseorang yang namanya Yesus. Tapi dalam perkembangannya, yaitu sekitar tahun 300an masehi, bapak-bapak gereja dan pakar-pakar agama Kristen memutuskan 66 kitab untuk disatukan menjadi satu buku dasar pegangan bagi kita semua. Namanya Alkitab. Dari sebuah Alkitab inilah gereja berkembang menjadi gereja A hingga gereja Z yang kita bisa temui di zaman sekarang. Tentu berkembangnya bukan kayak McDonald yang laris dan buka franchise dimana-mana, tapi justru karena ada banyak perpecahan, perbedaan pendapat, dan ketidaksetujuan; dan semua mengaku berdasarkan Alkitab yang sama! Yang paling jelas terlihat adalah ketidaksetujuan Martin Luther terhadap gereja Katolik di abad 15, yang kemudian melahirkan gereja Protestan (yang kemudian juga pecah-pecah dan bercabang-cabang lagi).

Kenapa dari satu kitab yang sama, ada begitu banyak perbedaan pendapat? Mengapa satu teks yang sama bisa dipahami berbeda-beda oleh pembacanya? Ini pasti karena si pembaca ngga mampu memahami maksud penulis aslinya tuh. Sebenarnya kalau kita membaca sesuatu dan ngga paham, tinggal minta klarifikasi ke penulisnya kan. Tapi repotnya, semua manusia penulis 66 kitab itu sudah mati. Mau tanya ke siapa coba? Mau tanya langsung ke Roh Kudus sebagai penulis asli juga ngga bisa..lha Roh Kudus itu siapa juga kita mengenalnya lewat teks yang ada di Alkitab kan..

Makanya para pakar pun mengembangkan yang namanya ilmu tafsir, atau istilah kerennya ‘hermeneutika’. Mereka memakai macem-macem cara untuk mencari apa sih sebenarnya makna asli yang ingin disampaikan oleh si penulis. Misalnya nih, mereka meneliti konteks zaman ketika si penulis menulis kitab itu. Mereka juga menelaah sebenarnya si penulis lagi nulis puisi, catatan sejarah, atau surat untuk seseorang. Mereka lalu juga mencermati kalimat-kalimat yang tertulis itu sebenarnya kiasan atau sungguhan. Dan macem-macem cara lain deh. Dengan teknik-teknik ini, kita bisa pelan-pelan mendekati makna asli yang dimaksudkan penulis, secara objektif.

Di pihak yang berseberangan, ada kelompok pakar Alkitab lain yang tidak setuju. Para pakar ini menolak adanya kemungkinan menemukan makna asli sebuah teks. Lho koq bisa begitu? Iya, soalnya mereka meyakini makna itu ngga pernah bisa ditransfer dari benak seseorang ke benak orang lain. Makna harus diterjemahkan dulu dalam bentuk bahasa, trus diucapkan atau ditulis, trus diinterpretasi oleh pendengar atau pembaca. Kita ngga pernah bisa mendengar atau membaca langsung pikiran seseorang kan, kita bisanya cuman mendengar atau membaca kalimat yang diucapkan/ditulis. Ketika kita mencoba memahami kalimat tersebut, kita menggunakan pikiran kita sendiri (ya iya lah, pake pikiran siapa lagi coba) yang sudah berisi macem-macem asumsi kan. Mungkinkah kita menangkap maksud asli dari kalimat itu 100% persis sama dengan apa yang dipikirkan/dirasakan si sumber? Ngga mungkin, pasti sedikit banyak tercampur dengan apa yang ada di pikiran kita sendiri dong. Makanya para pakar ini bilang kalo makna itu baru muncul dalam proses membaca. Makna asli itu ngga pernah ada, kalau pun ada, ngga pernah bisa kita akses. Jadi makna itu selalu subjektif, ngga pernah objektif.

Kembali ke Alkitab, coba kita ambil contoh posisi gereja terhadap perbudakan. Di zaman sekarang semua gereja menolak praktik perbudakan kan. Tapi apa sepanjang sejarah selalu begitu? Enggak! Baru 200 tahun belakangan perbudakan musnah dari interpretasi gereja. Padahal Alkitab kita selalu sama lho sejak 1700 tahun yg lalu. Apa yang terjadi kalo gitu? Apa bapak-bapak gereja zaman pertengahan semuanya idiot sehingga tidak mampu melihat kebenaran sederhana bahwa pesan asli Alkitab adalah menolak perbudakan? Ya enggak lah. Itu semua karena makna yang kita tarik dari Alkitab tidak pernah objektif. Semua tergantung pada situasi sejarah dan komunitas yang menginterpretasinya. Makanya sekarang bisa muncul gereja A sampai Z dengan doktrin yang berbeda-beda dan bahkan bertolak belakang. Dan jangan kaget kalau suatu hari ada doktrin super-gak-masuk-akal yang katanya bersumber dari Alkitab juga.

Tapi para pakar pejuang “makna asli” ngga tinggal diam dong. Mereka menanggapi kritik ini dengan dada terbusung. Mereka mempertanyakan, apa ya mungkin makna yang ditarik itu bisa sebegitu subjektifnya, hingga terlepas sama sekali dari maksud si penulis asli? Apa ya ngga ada tersangkut-sangkutnya sedikit dengan makna aslinya? Kalau makna itu selalu subjektif, apa ini bukan relativisme namanya? Semua orang bisa menginterpretasi sesukanya? Apa ngga chaos dan anarkis jadinya? Bukan kah lebih tepat kalau kita menerima subjektivitas sebagai hal yang tidak mungkin kita hindari, tapi dengan kerendahan hati kita berusaha pelan-pelan mengungkap makna asli sekalipun belum bisa ngeklaim 100% pasti benar?

Pihak yang anti dengan makna asli juga ngga terima. Mereka berargumen kalo relativisme adalah tuduhan yang keliru. Mereka tidak mengatakan bahwa segala sesuatunya itu relatif koq. Makna itu ngga bisa seenaknya ditentukan oleh individu, tapi oleh komunitas yang menginterpretasi. Makna yang dikembangkan haruslah “masuk akal” bagi komunitas tersebut. Mereka malah balik menuduh kelompok pembela “makna objektif” itu buta sejarah, alias lupa ngeliat perkembangan sepanjang sejarah. Coba liat kasus poligami, perang, penyakit kusta, genosida, demokrasi, homoseksualitas, dll. Bukankah Alkitab telah dipakai sebagai dasar oleh kedua pihak (baik kelompok yang anti maupun yang pro) dalam isu-isu ini? Tentang chaos dan anarkis, coba diinget-inget fakta di lapangan.. kelompok mana yang lebih sering melakukan tindakan anarkis: Kelompok yang meyakini pendapat mereka paling benar dan objektif, atau kelompok yang menghargai ragam pendapat dan pluralisme?

Oke, sampe di sini kita hentikan saja dengar pendapat kedua pihak. Kayaknya besok pagi baru selesai deh debatnya. (Salah! Nyatanya setelah puluhan tahun tetep ngga selesai tuh debat para teolog ini). Btw, di luar dua posisi ekstrim ini ada banyak pakar lain yang mengembangkan alternatif-alternatif di tengah-tengahnya. Masing-masing punya asumsi, penjelasan, dan pembuktiannya sendiri-sendiri.

Kalau para pakar yang berdebat gitu repot deh.. kita sebagai jemaat awam ini malah jadi bingung mau ikut yang mana. Semua pakar itu pintar-pintar, semua punya argumen sendiri-sendiri, semua terdengar meyakinkan kalau menjelaskan. Jangankan memilih mana gereja yang ajarannya “benar” dari 1001 ragam gereja yang ada, lha memilih mana pendekatan yang “benar” terhadap 1 buku yang namanya Alkitab ini aja sulit banget..

Trus gimana dong?
Tapi segala hal di dunia ini memang gitu deh kayaknya. Apapun yang kita pelajari, semua dimulai dari pemahaman yang sederhana. Semakin mendalam kita mempelajari sesuatu, semakin banyak kerumitan yang kita temui. Dan mau ngga mau harus kita hadapi, kecuali kita memilih berhenti belajar. Makanya orang yang ngga tau apa-apa biasanya ngomongnya lantang dan sok yakin. Tong kosong nyaring bunyinya. Sebaliknya, makin dalam pengetahuan seseorang, biasanya makin berhati-hati dan penuh pertimbangan. Nah, kalau Tuhan sudah menuntunmu untuk membaca tulisan ini, artinya Tuhan sedang menantangmu untuk masuk ke dalam pengenalan yang lebih dalam akan iman Kristen, yang artinya adalah belajar menerima kompleksitas kehidupan Kristiani. Dunia ini ngga selebar daun kelor, Masbro! Bingung, putus asa, dan tenggelam dalam kerumitan sih boleh-boleh aja. Tapi jangan lama-lama yah. Life must go on. Our Christian life must go on too.

Nih satu alternatif yang asik dicoba: Gimana kalau kita perlakukan iman Kristen kita bukan seperti pelajaran matematika yang harus dicarikan satu jawaban yang paling benar? Siapa yang bilang kalo Yesus itu mengajarkan filsafat agama yang penuh dengan logika, dogma, dan retorika? Gimana kalo ternyata Yesus mengajarkan sebuah gaya hidup yang penuh misteri, yang tidak pernah bisa diteorikan menjadi “satu kebenaran” belaka? Atau “satu pendekatan yang paling tepat untuk memahami Alkitab”?

Ambil contoh sederhana misalnya cara mendidik anak. Adakah satu cara yang paling “benar” untuk mendidik anak? Adakah satu teori yang paling akurat, utuh, dan lengkap tentang cara mendidik anak? Mungkin ada, kalau kita ngobrol dengan psikolog amatiran yang lagi jualan program parenting. Tapi kalau kita tanya ke orangtua yang pernah sungguh-sungguh mengasuh anaknya, saya yakin mereka tidak akan mampu menuangkan seluruh kompleksitas proses mendidik anak dalam satu doktrin atau kebenaran tunggal. Mendidik anak adalah seni, yaitu seni membimbing seorang anak menjadi manusia yang baik. Mendidik anak ngga ada jurusan kuliah dan gelar sarjana nya. Orangtua hanyalah berbekal pengetahuan yang terbatas dan sering bertolak belakang: kelas parenting, obrolan dengan teman, koran, tabloid, buku-buku psikologi populer, Google, iklan di TV, belajar dari pengalaman sendiri, dari ortu (kakek-nenek), khotbah pendeta di gereja, Alkitab, dst. Semua sumber-sumber itu punya asumsi, penjelasan, dan pembuktiannya sendiri-sendiri tentang cara mendidik anak yang benar. Meskipun kadang membingungkan, kita ngga bisa dong menyerah dan berhenti mendidik anak kita: “Wis terserah, Nak, karep2mu.. Bapak lan ibumu iki saiki lost in relativism tentang cara mendidik anak nih.”

Mungkin iman Kristen juga adalah sebuah seni… Sebuah seni mencintai Tuhan dan sesama. Meskipun terhimpit dalam belantara “kebenaran” Kristen abad 21 yang penuh menyesakkan mata, telinga, dan otak kita; tapi tidak apa, karena toh melukis sebuah mahakarya indah itu tidak sama dengan menyelesaikan persamaan matematika.

2 comments:

  1. Kita kerjakan bagian kita, Roh Kudus yg sempurnakan, :) setuju?

    ReplyDelete
  2. sudahkah kita dekat secara pribadi dengan Tuhan?
    kalo saya sih pak cuman satu, alkitab tu macam buku contoh buat kita tentang apa yang Tuhan buat pada manusia. Pertanyaannya juga nambah satu, sudahkan kita menghidupi alkitab? lha nabi2 aja disertai sebegitu dahsyatnya di Alkitab dengan bondo satu, Hubungan pribadi dengan Tuhan. dari hubungan pribadi itu pasti akan turun Hikmat dan Kuasa tetapi pasti pula Tuhan tidak menginginkan kita menyalah gunakan itu untuk menghakimi orang, lha kita ini lho terperangkap dalam dualisme. baik itu berarti tidak jahat lha mendidik anak lho kadang harus keras ato bisa kata "jahat" tapi apa benar-benar "jahat" ? kepala manusia nga cukup buat memahami seberapa besar mauNya kalo kita nga dapet hikmat. Tuhan tu absolut, nga bisa kita kecilin untuk sepaham dengan kita, bisanya kita sepaham dengan Dia. Dengan berusaha sepaham aja orang sudah mulai kaya cacing kepanasan trus merasa paling benar dan memotong segalanya begitu saja. Soalnya apa yang dikatakan diatas hampir semua benar dan ada maksudnya (yang dari gereja A-Z tu loh). jadi nga bisa sak dek sak nyek

    ReplyDelete