Waktu
ke gereja A, katanya Saksi Yehova itu sesat dan seharus tidak boleh diterima
oleh PGI.
Tapi
waktu ke gereja B, katanya beragam cara orang mengagumi Yesus tidak perlu
dihambat, termasuk Saksi Yehova ini.
Di
gereja C, nyanyinya tenang dan kalem, soalnya katanya puji-pujian itu bukanlah pertunjukan
band metal, tapi pengagungan kita pada Tuhan dari hati terdalam.
Di
gereja D, nyanyinya pake full-band, sound systemnya superberisik, dan jemaatnya
lompat-lompat kayak kuda lumping, soalnya katanya pujian itu harus kontekstual dan
sepenuh jiwa raga.
Jemaat
gereja E dijanjikan berkat dan sukses luar biasa - harta melimpah, mujizat, dan
sukacita walau sana sini susah.
Jemaat
gereja F diajak untuk meninggalkan cinta pada harta dan kenikmatan dunia, hidup
sederhana, dan berbagi dengan kaum papa.
Di
gereja G, keselamatan bisa didapat asalkan kita percaya dalam hati dan mengaku
dengan mulut bahwa Yesus adalah Tuhan.
Di
gereja H, keselamatan gak pake gitu-gitu, malah juga diakui ada lho di luar
gereja!
Di
gereja I, kalo mau pacaran mesti berdoa puasa dulu, minta ijin ke kakak
pembina, dan diteguhkan oleh pendeta.
Di
gereja J, pacaran ya pacaran aja kaleee.
Menurut
gereja K, Israel dianggap bangsa pilihan Tuhan hingga saat ini, sehingga perang
di Timur Tengah semata-mata adalah cara Tuhan menggenapi nubuatan Alkitab.
Di
gereja L, perdamaian adalah harga mutlak.. kekerasan tidak dapat dibenarkan
untuk tujuan apapun. Perang bukanlah cara Tuhan.
Gereja
M percaya Allah Tritunggal.
Gereja
N percaya Allah itu tunggal (beneran ada lho gereja spt ini).
Gereja
O menarik diri dari dunia politik
Gereja
P berpolitik sebagai praktik imannya.
Gereja
Q melarang perceraian, karena hanya maut yang memisahkan pernikahan.
Di
gereja R, lha, koq pendetanya sendiri bercerai ya toh.. (ini juga beneran lho)
Gereja
S menyuruh istri tunduk pada suami.
Gereja
T mengajarkan istri dan suami untuk saling menundukkan diri satu sama lain.
Gereja
U merayakan natal besar-besaran.
Gereja
V tidak merayakan natal karena tidak diperintahkan di Alkitab.
Gereja
W ibadah di hari Minggu
Gereja
X ibadah di hari Sabtu
Pendeta
Gereja Y bilang dia yang paling benar.
Pendeta
Gereja Z juga bilang dia yang paling benar.
Gereja
memang beragam yah? Kadang keberagaman itu cuman akibat beda penekanan dan
tidak terlalu dipermasalahkan. Tapi kadang ada juga yang beda doktrin secara
mendasar dan sulit dipertemukan, bahkan sampai bertengkar lho. Kenapa bisa
begitu? Dan gimana kita jemaat awam ini menghadapi perbedaan-perbedaan kayak gini?
Yuk kita telusuri ke awal mulanya segala perbedaan ini muncul..
Penulis-Teks-Pembaca
Kekristenan
adalah agama berbasis teks. Maksudnya, perkembangan agama Kristen berpijak pada
sebuah kitab suci, yang namanya Alkitab. Tentu awalnya bukan begini, awalnya
kan dari seseorang yang namanya Yesus. Tapi dalam perkembangannya, yaitu
sekitar tahun 300an masehi, bapak-bapak gereja dan pakar-pakar agama Kristen
memutuskan 66 kitab untuk disatukan menjadi satu buku dasar pegangan bagi kita
semua. Namanya Alkitab. Dari sebuah Alkitab inilah gereja berkembang menjadi
gereja A hingga gereja Z yang kita bisa temui di zaman sekarang. Tentu
berkembangnya bukan kayak McDonald yang laris dan buka franchise dimana-mana,
tapi justru karena ada banyak perpecahan, perbedaan pendapat, dan
ketidaksetujuan; dan semua mengaku berdasarkan Alkitab yang sama! Yang paling
jelas terlihat adalah ketidaksetujuan Martin Luther terhadap gereja Katolik di
abad 15, yang kemudian melahirkan gereja Protestan (yang kemudian juga
pecah-pecah dan bercabang-cabang lagi).
Kenapa
dari satu kitab yang sama, ada begitu banyak perbedaan pendapat? Mengapa satu
teks yang sama bisa dipahami berbeda-beda oleh pembacanya? Ini pasti karena si
pembaca ngga mampu memahami maksud penulis aslinya tuh. Sebenarnya kalau kita
membaca sesuatu dan ngga paham, tinggal minta klarifikasi ke penulisnya kan.
Tapi repotnya, semua manusia penulis 66 kitab itu sudah mati. Mau tanya ke
siapa coba? Mau tanya langsung ke Roh Kudus sebagai penulis asli juga ngga
bisa..lha Roh Kudus itu siapa juga kita mengenalnya lewat teks yang ada di
Alkitab kan..
Makanya
para pakar pun mengembangkan yang namanya ilmu tafsir, atau istilah kerennya ‘hermeneutika’.
Mereka memakai macem-macem cara untuk mencari apa sih sebenarnya makna asli
yang ingin disampaikan oleh si penulis. Misalnya nih, mereka meneliti konteks zaman
ketika si penulis menulis kitab itu. Mereka juga menelaah sebenarnya si penulis
lagi nulis puisi, catatan sejarah, atau surat untuk seseorang. Mereka lalu juga
mencermati kalimat-kalimat yang tertulis itu sebenarnya kiasan atau sungguhan. Dan
macem-macem cara lain deh. Dengan teknik-teknik ini, kita bisa pelan-pelan
mendekati makna asli yang dimaksudkan penulis, secara objektif.
Di
pihak yang berseberangan, ada kelompok pakar Alkitab lain yang tidak setuju.
Para pakar ini menolak adanya kemungkinan menemukan makna asli sebuah teks. Lho
koq bisa begitu? Iya, soalnya mereka meyakini makna itu ngga pernah bisa
ditransfer dari benak seseorang ke benak orang lain. Makna harus diterjemahkan
dulu dalam bentuk bahasa, trus diucapkan atau ditulis, trus diinterpretasi oleh
pendengar atau pembaca. Kita ngga pernah bisa mendengar atau membaca langsung
pikiran seseorang kan, kita bisanya cuman mendengar atau membaca kalimat yang
diucapkan/ditulis. Ketika kita mencoba memahami kalimat tersebut, kita
menggunakan pikiran kita sendiri (ya iya lah, pake pikiran siapa lagi coba)
yang sudah berisi macem-macem asumsi kan. Mungkinkah kita menangkap maksud asli
dari kalimat itu 100% persis sama dengan apa yang dipikirkan/dirasakan si
sumber? Ngga mungkin, pasti sedikit banyak tercampur dengan apa yang ada di
pikiran kita sendiri dong. Makanya para pakar ini bilang kalo makna itu baru muncul
dalam proses membaca. Makna asli itu ngga pernah ada, kalau pun ada, ngga
pernah bisa kita akses. Jadi makna itu selalu subjektif, ngga pernah objektif.
Kembali
ke Alkitab, coba kita ambil contoh posisi gereja terhadap perbudakan. Di zaman
sekarang semua gereja menolak praktik perbudakan kan. Tapi apa sepanjang
sejarah selalu begitu? Enggak! Baru 200 tahun belakangan perbudakan musnah dari
interpretasi gereja. Padahal Alkitab kita selalu sama lho sejak 1700 tahun yg
lalu. Apa yang terjadi kalo gitu? Apa bapak-bapak gereja zaman pertengahan
semuanya idiot sehingga tidak mampu melihat kebenaran sederhana bahwa pesan
asli Alkitab adalah menolak perbudakan? Ya enggak lah. Itu semua karena makna
yang kita tarik dari Alkitab tidak pernah objektif. Semua tergantung pada
situasi sejarah dan komunitas yang menginterpretasinya. Makanya sekarang bisa
muncul gereja A sampai Z dengan doktrin yang berbeda-beda dan bahkan bertolak
belakang. Dan jangan kaget kalau suatu hari ada doktrin super-gak-masuk-akal
yang katanya bersumber dari Alkitab juga.
Tapi
para pakar pejuang “makna asli” ngga tinggal diam dong. Mereka menanggapi
kritik ini dengan dada terbusung. Mereka mempertanyakan, apa ya mungkin makna
yang ditarik itu bisa sebegitu subjektifnya, hingga terlepas sama sekali dari
maksud si penulis asli? Apa ya ngga ada tersangkut-sangkutnya sedikit dengan
makna aslinya? Kalau makna itu selalu subjektif, apa ini bukan relativisme
namanya? Semua orang bisa menginterpretasi sesukanya? Apa ngga chaos dan
anarkis jadinya? Bukan kah lebih tepat kalau kita menerima subjektivitas
sebagai hal yang tidak mungkin kita hindari, tapi dengan kerendahan hati kita
berusaha pelan-pelan mengungkap makna asli sekalipun belum bisa ngeklaim 100%
pasti benar?
Pihak
yang anti dengan makna asli juga ngga terima. Mereka berargumen kalo
relativisme adalah tuduhan yang keliru. Mereka tidak mengatakan bahwa segala
sesuatunya itu relatif koq. Makna itu ngga bisa seenaknya ditentukan oleh
individu, tapi oleh komunitas yang menginterpretasi. Makna yang dikembangkan
haruslah “masuk akal” bagi komunitas tersebut. Mereka malah balik menuduh
kelompok pembela “makna objektif” itu buta sejarah, alias lupa ngeliat perkembangan
sepanjang sejarah. Coba liat kasus poligami, perang, penyakit kusta, genosida,
demokrasi, homoseksualitas, dll. Bukankah Alkitab telah dipakai sebagai dasar
oleh kedua pihak (baik kelompok yang anti maupun yang pro) dalam isu-isu ini?
Tentang chaos dan anarkis, coba diinget-inget fakta di lapangan.. kelompok mana
yang lebih sering melakukan tindakan anarkis: Kelompok yang meyakini pendapat
mereka paling benar dan objektif, atau kelompok yang menghargai ragam pendapat
dan pluralisme?
Oke,
sampe di sini kita hentikan saja dengar pendapat kedua pihak. Kayaknya besok
pagi baru selesai deh debatnya. (Salah! Nyatanya setelah puluhan tahun tetep
ngga selesai tuh debat para teolog ini). Btw, di luar dua posisi ekstrim ini
ada banyak pakar lain yang mengembangkan alternatif-alternatif di
tengah-tengahnya. Masing-masing punya asumsi, penjelasan, dan pembuktiannya
sendiri-sendiri.
Kalau
para pakar yang berdebat gitu repot deh.. kita sebagai jemaat awam ini malah
jadi bingung mau ikut yang mana. Semua pakar itu pintar-pintar, semua punya
argumen sendiri-sendiri, semua terdengar meyakinkan kalau menjelaskan.
Jangankan memilih mana gereja yang ajarannya “benar” dari 1001 ragam gereja
yang ada, lha memilih mana pendekatan yang “benar” terhadap 1 buku yang namanya
Alkitab ini aja sulit banget..
Trus gimana dong?
Tapi
segala hal di dunia ini memang gitu deh kayaknya. Apapun yang kita pelajari,
semua dimulai dari pemahaman yang sederhana. Semakin mendalam kita mempelajari
sesuatu, semakin banyak kerumitan yang kita temui. Dan mau ngga mau harus kita
hadapi, kecuali kita memilih berhenti belajar. Makanya orang yang ngga tau
apa-apa biasanya ngomongnya lantang dan sok yakin. Tong kosong nyaring
bunyinya. Sebaliknya, makin dalam pengetahuan seseorang, biasanya makin berhati-hati
dan penuh pertimbangan. Nah, kalau Tuhan sudah menuntunmu untuk membaca tulisan
ini, artinya Tuhan sedang menantangmu untuk masuk ke dalam pengenalan yang
lebih dalam akan iman Kristen, yang artinya adalah belajar menerima
kompleksitas kehidupan Kristiani. Dunia ini ngga selebar daun kelor, Masbro! Bingung,
putus asa, dan tenggelam dalam kerumitan sih boleh-boleh aja. Tapi jangan
lama-lama yah. Life must go on. Our Christian life must go on too.
Nih
satu alternatif yang asik dicoba: Gimana kalau kita perlakukan iman Kristen
kita bukan seperti pelajaran matematika yang harus dicarikan satu jawaban yang
paling benar? Siapa yang bilang kalo Yesus itu mengajarkan filsafat agama yang penuh
dengan logika, dogma, dan retorika? Gimana kalo ternyata Yesus mengajarkan sebuah
gaya hidup yang penuh misteri, yang tidak pernah bisa diteorikan menjadi “satu
kebenaran” belaka? Atau “satu pendekatan yang paling tepat untuk memahami
Alkitab”?
Ambil
contoh sederhana misalnya cara mendidik anak. Adakah satu cara yang paling
“benar” untuk mendidik anak? Adakah satu teori yang paling akurat, utuh, dan
lengkap tentang cara mendidik anak? Mungkin ada, kalau kita ngobrol dengan
psikolog amatiran yang lagi jualan program parenting. Tapi kalau kita tanya ke
orangtua yang pernah sungguh-sungguh mengasuh anaknya, saya yakin mereka tidak akan
mampu menuangkan seluruh kompleksitas proses mendidik anak dalam satu doktrin
atau kebenaran tunggal. Mendidik anak adalah seni, yaitu seni membimbing
seorang anak menjadi manusia yang baik. Mendidik anak ngga ada jurusan kuliah
dan gelar sarjana nya. Orangtua hanyalah berbekal pengetahuan yang terbatas dan
sering bertolak belakang: kelas parenting, obrolan dengan teman, koran,
tabloid, buku-buku psikologi populer, Google, iklan di TV, belajar dari
pengalaman sendiri, dari ortu (kakek-nenek), khotbah pendeta di gereja,
Alkitab, dst. Semua sumber-sumber itu punya asumsi, penjelasan, dan
pembuktiannya sendiri-sendiri tentang cara mendidik anak yang benar. Meskipun kadang
membingungkan, kita ngga bisa dong menyerah dan berhenti mendidik anak kita:
“Wis terserah, Nak, karep2mu.. Bapak lan ibumu iki saiki lost in relativism
tentang cara mendidik anak nih.”
Mungkin
iman Kristen juga adalah sebuah seni… Sebuah seni mencintai Tuhan dan sesama.
Meskipun terhimpit dalam belantara “kebenaran” Kristen abad 21 yang penuh
menyesakkan mata, telinga, dan otak kita; tapi tidak apa, karena toh melukis sebuah
mahakarya indah itu tidak sama dengan menyelesaikan persamaan matematika.