Tuesday, 26 November 2013

Pantun Serba Salah: Kapan dong kita bisa bahagia?



Sewaktu masih kecil, kita ngga bahagia karena dianggap remeh sama kakak, ortu, guru, dan semua org: “Kamu kan masih kecil!”
Sewaktu sudah besar, koq rasanya lebih bahagia ketika masih kecil yah.. setiap hari main doang kerjaannya.. bisa ketawa ketiwi sesuka hati.

Pas belum punya pacar, kita ngga bahagia karena… ngga ada yang mencintaiku, huhuhuhu..
Pas sudah punya pacar, aduh… malah banyak masalah, ribut melulu, ngga bisa bebas… mendingan pas jomblo deh kayaknya.

Sewaktu masih SMA, pengen segera kuliah nih.. enak boleh pake baju bebas, boleh ngecat rambut, boleh gondrong, ngga diatur-atur sama guru lagi.
Sewaktu sudah kuliah, ternyata enakan pas SMA yah.. jadwal pelajarannya jelas, guru-guru pada perhatian, kalo bandel ada yang ngingetkan, jadi ngga molor bertahun-tahun gini selesainya..

Saat belum lulus kuliah, haduh… capek rasanya bikin tugas, UTS, UAS, apalagi ngerjakan skripsi, plus menghadapi sidang skripsi yang menyeramkan itu. Hiiiii…
Saat sudah lulus kuliah, kangen nih masa-masa kuliah.. bisa nongkrong sm temen-teman.. ngga perlu puuuusyiiiiing nyari kerja..

Ketika belum dapet kerja, oh Tuhan, dengarlah doa hambaMu yang gundah gulana dan bokek ini..
Ketika sudah dapet kerja, capek nih harus kerja tiap hari, bosen kerja gitu-gitu doang, gaji gak naik-naik, bos nya galak lagi..

Sewaktu duit cuman sedikit, mana bisa bahagia kalo duit empot-empotan begini..
Sewaktu banyak duit, tidur malam ngga pernah tenang.. selalu kepikiran.. gimana kalo bursa saham menurun, gimana kalo harga emas anjlok, gimana kalo bank menyita semua asetku, gimana kalo KPK akhirnya mengendus suap yang kuberikan ke pejabat X…

Pas masih naik angkot dan jalan kaki kemana-mana, wih enaknya kalo punya motor nih.. cepet, ngga berdesak-desakan gini.
Pas sudah punya motor, wih enaknya kalo punya mobil..ngga usah kepanasan dan kehujanan..
Pas punya mobil, duuh.. koq macet terus gini..kapan nyampenya.. Kayaknya kalo punya helikopter enak deh.
Pas udah punya helikopter, waduh..nyari parkir sulit amat yah.. mending naik angkot aja deh ngga usah repot cari parkir.

Saat masih berstatus pegawai, wah.. enak kalo bisa jadi pengusaha! Punya banyak duit, bisa nyuruh-nyuruh anak buah, masuk dan pulang kerja seenaknya.
Saat sudah jadi pengusaha, enak banget ya jadi pegawai.. ngga perlu pusing mikirin situasi ekonomi yg tak menentu, gaji konstan ngga peduli berapa pun profit perusahaan.. belum lagi menghadapi perusahaan-perusahaan raksasa yang ikutan merebut pangsa pasar, belum lagi serikat buruh yang terus-terusan menuntut, belum lagi aturan pemerintah yang berubah-ubah, belum lagi produk Cina yang membanjir..

Ketika belum menikah, mana bisa hepi.. belum boleh macem-macem pas pacaran! Ciuman aja mesti sembunyi-sembunyi.
Ketika sudah menikah, koq dunia ngga seindah sewaktu pacaran dulu yah.. ketika kau selalu membukakan pintu untukku.. ketika kau mengarang puisi dan mengirim bunga.. ketika kau ingat hari ulang tahunku..

Sewaktu belum punya anak, mana bisa bahagia kalo rumah tangga belum dikaruniai buah hati..
Sewaktu sudah punya anak, wih capek dan repot ngurus anak..!

Pas anak masih bayi, tidur malem ngga pernah bisa tenang.. sering terbangun karena si kecil nangis..
Pas anak masuk sekolah, biaya sekolah koq luar biasa mahal yah.. belum lagi minta dibelikan mainan, videogame, ipad, scooter, ngga ada habis nya..
Pas anak sudah remaja, ngga usah dibahas deh.. bikin emosi aja!

Saat anak baru satu, kasian… dia kesepian, ngga punya teman main, minta adik terus..
Saat anak dua, DiiiiAAAAM…! Kalian ini bertengkar terus kerjaannya! Ngga ngerti apa papa ini capek habis kerja seharian?!?

Ketika rumah masih kontrak, wih kapan yah kita bisa punya rumah sendiri.. pasti tenang deh udah gak perlu pindah-pindah terus.
Ketika sudah beli rumah, ngurus rumah koq tiada habisnya.. genteng bocor, kusen kena rayap, tembok sudah waktunya di-cat.. belum lagi kebanjiran gara-gara jalanan sekarang di-paving lebih tinggi, mesti diapakan dong rumah ini..

Kalo gitu… Kapan dong kita bakalan bahagia?

Pas masih hidup, hidup koq susah yah …
Pas udah mati … ?!?!?!

Thursday, 31 October 2013

Gereja A bilang A, gereja B bilang B, & gereja Z bilang Z. Trus gimana dong?



Waktu ke gereja A, katanya Saksi Yehova itu sesat dan seharus tidak boleh diterima oleh PGI.
Tapi waktu ke gereja B, katanya beragam cara orang mengagumi Yesus tidak perlu dihambat, termasuk Saksi Yehova ini.

Di gereja C, nyanyinya tenang dan kalem, soalnya katanya puji-pujian itu bukanlah pertunjukan band metal, tapi pengagungan kita pada Tuhan dari hati terdalam.
Di gereja D, nyanyinya pake full-band, sound systemnya superberisik, dan jemaatnya lompat-lompat kayak kuda lumping, soalnya katanya pujian itu harus kontekstual dan sepenuh jiwa raga.

Jemaat gereja E dijanjikan berkat dan sukses luar biasa - harta melimpah, mujizat, dan sukacita walau sana sini susah.
Jemaat gereja F diajak untuk meninggalkan cinta pada harta dan kenikmatan dunia, hidup sederhana, dan berbagi dengan kaum papa.

Di gereja G, keselamatan bisa didapat asalkan kita percaya dalam hati dan mengaku dengan mulut bahwa Yesus adalah Tuhan.
Di gereja H, keselamatan gak pake gitu-gitu, malah juga diakui ada lho di luar gereja!

Di gereja I, kalo mau pacaran mesti berdoa puasa dulu, minta ijin ke kakak pembina, dan diteguhkan oleh pendeta.
Di gereja J, pacaran ya pacaran aja kaleee.

Menurut gereja K, Israel dianggap bangsa pilihan Tuhan hingga saat ini, sehingga perang di Timur Tengah semata-mata adalah cara Tuhan menggenapi nubuatan Alkitab.
Di gereja L, perdamaian adalah harga mutlak.. kekerasan tidak dapat dibenarkan untuk tujuan apapun. Perang bukanlah cara Tuhan.

Gereja M percaya Allah Tritunggal.
Gereja N percaya Allah itu tunggal (beneran ada lho gereja spt ini).

Gereja O menarik diri dari dunia politik
Gereja P berpolitik sebagai praktik imannya.

Gereja Q melarang perceraian, karena hanya maut yang memisahkan pernikahan.
Di gereja R, lha, koq pendetanya sendiri bercerai ya toh.. (ini juga beneran lho)

Gereja S menyuruh istri tunduk pada suami.
Gereja T mengajarkan istri dan suami untuk saling menundukkan diri satu sama lain.

Gereja U merayakan natal besar-besaran.
Gereja V tidak merayakan natal karena tidak diperintahkan di Alkitab.

Gereja W ibadah di hari Minggu
Gereja X ibadah di hari Sabtu

Pendeta Gereja Y bilang dia yang paling benar.
Pendeta Gereja Z juga bilang dia yang paling benar.

Gereja memang beragam yah? Kadang keberagaman itu cuman akibat beda penekanan dan tidak terlalu dipermasalahkan. Tapi kadang ada juga yang beda doktrin secara mendasar dan sulit dipertemukan, bahkan sampai bertengkar lho. Kenapa bisa begitu? Dan gimana kita jemaat awam ini menghadapi perbedaan-perbedaan kayak gini? Yuk kita telusuri ke awal mulanya segala perbedaan ini muncul..

Penulis-Teks-Pembaca
Kekristenan adalah agama berbasis teks. Maksudnya, perkembangan agama Kristen berpijak pada sebuah kitab suci, yang namanya Alkitab. Tentu awalnya bukan begini, awalnya kan dari seseorang yang namanya Yesus. Tapi dalam perkembangannya, yaitu sekitar tahun 300an masehi, bapak-bapak gereja dan pakar-pakar agama Kristen memutuskan 66 kitab untuk disatukan menjadi satu buku dasar pegangan bagi kita semua. Namanya Alkitab. Dari sebuah Alkitab inilah gereja berkembang menjadi gereja A hingga gereja Z yang kita bisa temui di zaman sekarang. Tentu berkembangnya bukan kayak McDonald yang laris dan buka franchise dimana-mana, tapi justru karena ada banyak perpecahan, perbedaan pendapat, dan ketidaksetujuan; dan semua mengaku berdasarkan Alkitab yang sama! Yang paling jelas terlihat adalah ketidaksetujuan Martin Luther terhadap gereja Katolik di abad 15, yang kemudian melahirkan gereja Protestan (yang kemudian juga pecah-pecah dan bercabang-cabang lagi).

Kenapa dari satu kitab yang sama, ada begitu banyak perbedaan pendapat? Mengapa satu teks yang sama bisa dipahami berbeda-beda oleh pembacanya? Ini pasti karena si pembaca ngga mampu memahami maksud penulis aslinya tuh. Sebenarnya kalau kita membaca sesuatu dan ngga paham, tinggal minta klarifikasi ke penulisnya kan. Tapi repotnya, semua manusia penulis 66 kitab itu sudah mati. Mau tanya ke siapa coba? Mau tanya langsung ke Roh Kudus sebagai penulis asli juga ngga bisa..lha Roh Kudus itu siapa juga kita mengenalnya lewat teks yang ada di Alkitab kan..

Makanya para pakar pun mengembangkan yang namanya ilmu tafsir, atau istilah kerennya ‘hermeneutika’. Mereka memakai macem-macem cara untuk mencari apa sih sebenarnya makna asli yang ingin disampaikan oleh si penulis. Misalnya nih, mereka meneliti konteks zaman ketika si penulis menulis kitab itu. Mereka juga menelaah sebenarnya si penulis lagi nulis puisi, catatan sejarah, atau surat untuk seseorang. Mereka lalu juga mencermati kalimat-kalimat yang tertulis itu sebenarnya kiasan atau sungguhan. Dan macem-macem cara lain deh. Dengan teknik-teknik ini, kita bisa pelan-pelan mendekati makna asli yang dimaksudkan penulis, secara objektif.

Di pihak yang berseberangan, ada kelompok pakar Alkitab lain yang tidak setuju. Para pakar ini menolak adanya kemungkinan menemukan makna asli sebuah teks. Lho koq bisa begitu? Iya, soalnya mereka meyakini makna itu ngga pernah bisa ditransfer dari benak seseorang ke benak orang lain. Makna harus diterjemahkan dulu dalam bentuk bahasa, trus diucapkan atau ditulis, trus diinterpretasi oleh pendengar atau pembaca. Kita ngga pernah bisa mendengar atau membaca langsung pikiran seseorang kan, kita bisanya cuman mendengar atau membaca kalimat yang diucapkan/ditulis. Ketika kita mencoba memahami kalimat tersebut, kita menggunakan pikiran kita sendiri (ya iya lah, pake pikiran siapa lagi coba) yang sudah berisi macem-macem asumsi kan. Mungkinkah kita menangkap maksud asli dari kalimat itu 100% persis sama dengan apa yang dipikirkan/dirasakan si sumber? Ngga mungkin, pasti sedikit banyak tercampur dengan apa yang ada di pikiran kita sendiri dong. Makanya para pakar ini bilang kalo makna itu baru muncul dalam proses membaca. Makna asli itu ngga pernah ada, kalau pun ada, ngga pernah bisa kita akses. Jadi makna itu selalu subjektif, ngga pernah objektif.

Kembali ke Alkitab, coba kita ambil contoh posisi gereja terhadap perbudakan. Di zaman sekarang semua gereja menolak praktik perbudakan kan. Tapi apa sepanjang sejarah selalu begitu? Enggak! Baru 200 tahun belakangan perbudakan musnah dari interpretasi gereja. Padahal Alkitab kita selalu sama lho sejak 1700 tahun yg lalu. Apa yang terjadi kalo gitu? Apa bapak-bapak gereja zaman pertengahan semuanya idiot sehingga tidak mampu melihat kebenaran sederhana bahwa pesan asli Alkitab adalah menolak perbudakan? Ya enggak lah. Itu semua karena makna yang kita tarik dari Alkitab tidak pernah objektif. Semua tergantung pada situasi sejarah dan komunitas yang menginterpretasinya. Makanya sekarang bisa muncul gereja A sampai Z dengan doktrin yang berbeda-beda dan bahkan bertolak belakang. Dan jangan kaget kalau suatu hari ada doktrin super-gak-masuk-akal yang katanya bersumber dari Alkitab juga.

Tapi para pakar pejuang “makna asli” ngga tinggal diam dong. Mereka menanggapi kritik ini dengan dada terbusung. Mereka mempertanyakan, apa ya mungkin makna yang ditarik itu bisa sebegitu subjektifnya, hingga terlepas sama sekali dari maksud si penulis asli? Apa ya ngga ada tersangkut-sangkutnya sedikit dengan makna aslinya? Kalau makna itu selalu subjektif, apa ini bukan relativisme namanya? Semua orang bisa menginterpretasi sesukanya? Apa ngga chaos dan anarkis jadinya? Bukan kah lebih tepat kalau kita menerima subjektivitas sebagai hal yang tidak mungkin kita hindari, tapi dengan kerendahan hati kita berusaha pelan-pelan mengungkap makna asli sekalipun belum bisa ngeklaim 100% pasti benar?

Pihak yang anti dengan makna asli juga ngga terima. Mereka berargumen kalo relativisme adalah tuduhan yang keliru. Mereka tidak mengatakan bahwa segala sesuatunya itu relatif koq. Makna itu ngga bisa seenaknya ditentukan oleh individu, tapi oleh komunitas yang menginterpretasi. Makna yang dikembangkan haruslah “masuk akal” bagi komunitas tersebut. Mereka malah balik menuduh kelompok pembela “makna objektif” itu buta sejarah, alias lupa ngeliat perkembangan sepanjang sejarah. Coba liat kasus poligami, perang, penyakit kusta, genosida, demokrasi, homoseksualitas, dll. Bukankah Alkitab telah dipakai sebagai dasar oleh kedua pihak (baik kelompok yang anti maupun yang pro) dalam isu-isu ini? Tentang chaos dan anarkis, coba diinget-inget fakta di lapangan.. kelompok mana yang lebih sering melakukan tindakan anarkis: Kelompok yang meyakini pendapat mereka paling benar dan objektif, atau kelompok yang menghargai ragam pendapat dan pluralisme?

Oke, sampe di sini kita hentikan saja dengar pendapat kedua pihak. Kayaknya besok pagi baru selesai deh debatnya. (Salah! Nyatanya setelah puluhan tahun tetep ngga selesai tuh debat para teolog ini). Btw, di luar dua posisi ekstrim ini ada banyak pakar lain yang mengembangkan alternatif-alternatif di tengah-tengahnya. Masing-masing punya asumsi, penjelasan, dan pembuktiannya sendiri-sendiri.

Kalau para pakar yang berdebat gitu repot deh.. kita sebagai jemaat awam ini malah jadi bingung mau ikut yang mana. Semua pakar itu pintar-pintar, semua punya argumen sendiri-sendiri, semua terdengar meyakinkan kalau menjelaskan. Jangankan memilih mana gereja yang ajarannya “benar” dari 1001 ragam gereja yang ada, lha memilih mana pendekatan yang “benar” terhadap 1 buku yang namanya Alkitab ini aja sulit banget..

Trus gimana dong?
Tapi segala hal di dunia ini memang gitu deh kayaknya. Apapun yang kita pelajari, semua dimulai dari pemahaman yang sederhana. Semakin mendalam kita mempelajari sesuatu, semakin banyak kerumitan yang kita temui. Dan mau ngga mau harus kita hadapi, kecuali kita memilih berhenti belajar. Makanya orang yang ngga tau apa-apa biasanya ngomongnya lantang dan sok yakin. Tong kosong nyaring bunyinya. Sebaliknya, makin dalam pengetahuan seseorang, biasanya makin berhati-hati dan penuh pertimbangan. Nah, kalau Tuhan sudah menuntunmu untuk membaca tulisan ini, artinya Tuhan sedang menantangmu untuk masuk ke dalam pengenalan yang lebih dalam akan iman Kristen, yang artinya adalah belajar menerima kompleksitas kehidupan Kristiani. Dunia ini ngga selebar daun kelor, Masbro! Bingung, putus asa, dan tenggelam dalam kerumitan sih boleh-boleh aja. Tapi jangan lama-lama yah. Life must go on. Our Christian life must go on too.

Nih satu alternatif yang asik dicoba: Gimana kalau kita perlakukan iman Kristen kita bukan seperti pelajaran matematika yang harus dicarikan satu jawaban yang paling benar? Siapa yang bilang kalo Yesus itu mengajarkan filsafat agama yang penuh dengan logika, dogma, dan retorika? Gimana kalo ternyata Yesus mengajarkan sebuah gaya hidup yang penuh misteri, yang tidak pernah bisa diteorikan menjadi “satu kebenaran” belaka? Atau “satu pendekatan yang paling tepat untuk memahami Alkitab”?

Ambil contoh sederhana misalnya cara mendidik anak. Adakah satu cara yang paling “benar” untuk mendidik anak? Adakah satu teori yang paling akurat, utuh, dan lengkap tentang cara mendidik anak? Mungkin ada, kalau kita ngobrol dengan psikolog amatiran yang lagi jualan program parenting. Tapi kalau kita tanya ke orangtua yang pernah sungguh-sungguh mengasuh anaknya, saya yakin mereka tidak akan mampu menuangkan seluruh kompleksitas proses mendidik anak dalam satu doktrin atau kebenaran tunggal. Mendidik anak adalah seni, yaitu seni membimbing seorang anak menjadi manusia yang baik. Mendidik anak ngga ada jurusan kuliah dan gelar sarjana nya. Orangtua hanyalah berbekal pengetahuan yang terbatas dan sering bertolak belakang: kelas parenting, obrolan dengan teman, koran, tabloid, buku-buku psikologi populer, Google, iklan di TV, belajar dari pengalaman sendiri, dari ortu (kakek-nenek), khotbah pendeta di gereja, Alkitab, dst. Semua sumber-sumber itu punya asumsi, penjelasan, dan pembuktiannya sendiri-sendiri tentang cara mendidik anak yang benar. Meskipun kadang membingungkan, kita ngga bisa dong menyerah dan berhenti mendidik anak kita: “Wis terserah, Nak, karep2mu.. Bapak lan ibumu iki saiki lost in relativism tentang cara mendidik anak nih.”

Mungkin iman Kristen juga adalah sebuah seni… Sebuah seni mencintai Tuhan dan sesama. Meskipun terhimpit dalam belantara “kebenaran” Kristen abad 21 yang penuh menyesakkan mata, telinga, dan otak kita; tapi tidak apa, karena toh melukis sebuah mahakarya indah itu tidak sama dengan menyelesaikan persamaan matematika.

Thursday, 29 August 2013

Alkitab dan lelaki tanpa burung


Ini kisah tentang seorang lelaki tanpa burung, atau istilahnya "sida-sida". Cerita tentang sida-sida dari Etiopia di Kisah 8 tentu sudah ngga asing lagi di telinga kita bukan? Itu lho, yang dibaptis oleh Filipus di perjalanan pulang dari Yerusalem menuju ke Etiopia. Kali ini kita akan coba menelaah cerita ini lebih dalam, dan merenungkan apa maknanya bagi kita di zaman sekarang.

Apa itu “sida-sida”?
Menurut Wikipedia, sida-sida (atau dalam bahasa Inggris disebut eunuch) adalah seorang lelaki yang dikebiri biasanya pada usia dini agar berdampak pada perkembangan hormonnya. Pengertian mengebiri (castrate) menurut KBBI adalah menghilangkan kelenjar testis pada hewan jantan, atau memotong ovarium pada hewan betina. (Jadi sebenarnya judul tulisan ini tidak tepat, karena yang dibuang adalah testis, bukan penis. Tapi judul “lelaki tanpa buah pelir” kurang mantab rasanya. Hehe. Kalau keduanya dibuang, istilahnya adalah emasculate, bukan castrate.)

Praktik kebiri ini banyak ditemukan di berbagai budaya kuno antara lain Sumeria, Cina, Romawi, dan India. Kebiri awalnya dilakukan untuk mempermalukan musuh yang kalah perang. Tapi kemudian banyak dipraktikkan juga pada budak lelaki, agar tidak menghamili majikan perempuan ketika mereka bekerja rumah tangga atau merawat majikannya. Makanya kebiri banyak dilakukan pada usia dini yaitu sebelum pubertas, agar hormon testoteron tidak diproduksi sehingga tidak agresif dan lebih cocok untuk pekerjaan seperti merawat rumah, anak-anak, dan majikan perempuan.

Karena risiko kematian besar sekali ketika penis dan testis dipotong semua, maka praktik yang banyak dilakukan adalah membuang testis saja. Metode melakukan kebiri di zaman dahulu -sebelum teknologi operasi medis ditemukan- lumayan mengerikan, misalnya menghancurkannya dengan benda keras, memotongnya dengan benda tajam, atau mengikat kantung testis erat-erat hingga testis mati.

Dalam perkembangannya sida-sida memiliki berbagai peran yang unik. Kedekatannya dengan keluarga majikannya (yang umumnya bangsawan) membuat mereka mengetahui banyak informasi tentang kerajaan. Banyak yang kemudian dipercaya menjadi pejabat seperti kisah sida-sida dari Etiopia yang merupakan kepala bendahara Ratu Kandake. Peran lain yang dilakukan sida-sida adalah penyanyi treble, karena tidak ada hormon testoteron yang membuat suara mereka ngebas. Sida-sida juga dianggap memiliki kebijaksanaan dan kepekaan spiritual yang tinggi sehingga mereka sering diangkat menjadi penasehat raja. Status sosial mereka unik, di satu sisi tidak “macho” untuk ukuran laki-laki (sehingga rentan di-bully di zaman sekarang), tapi beberapa peran yang mereka emban sangat terhormat (sehingga mestinya ngga ada yang berani mem-bully).

Di Alkitab banyak ayat yang menyinggung tentang sida-sida, tentunya selain cerita sida-sida dari Etiopia itu. Di zaman Musa misalnya, walaupun sida-sida tidak dipraktikkan oleh bangsa Israel namun di kitab Ulangan 23 ada disebutkan: “Orang yang hancur buah pelirnya atau yang terpotong kemaluannya, janganlah masuk jemaah TUHAN.” Ini karena bangsa-bangsa lain di sekitar Israel pada waktu itu mempraktikkan kebiri. Sida-sida yang pernah disebutkan di Alkitab antara lain Ebed-melech temannya Yeremia, sida-sida yang melayani Ester, dan juga sida-sida yang melayani Nebudkanezar. Selain itu para pakar Alkitab menduga beberapa tokoh Alkitab sebenarnya adalah sida-sida karena posisi mereka yang tinggi di kerajaan non-Israel; seperti Nehemia, Daniel, Sadrakh, Mesakh, dan Abednego.

Tentunya yang paling terkenal di Alkitab dan disebutkan secara eksplisit sebagai sida-sida adalah cerita sida-sida dari Etiopia di Kisah 8: 26-40. Yuk kita coba baca dan renungkan cerita ini lebih dalam.

Keistimewaan kisah sida-sida dari Etiopia
Cerita ini punya beberapa keistimewaan. Sida-sida yang tidak disebutkan namanya ini adalah salah satu orang non-Yahudi paling awal yang dibaptis menjadi orang Kristen. Kalau kita cermati di Kisah Rasul, cerita sida-sida ini muncul sebelum Paulus (sang rasul bagi bangsa non-yahudi) bertobat lho, dan bahkan sebelum Petrus diberi mimpi tentang makanan haram. Coba kita bayangkan jadi keduabelas murid Yesus di zaman itu. Praktik agama kan selalu erat kaitannya dengan etnisitas. Yang mempraktikkan Judaisme ya orang Israel. Bangsa lain punya dewa dan ritual agama mereka sendiri. Tidak mudah bagi rasul-rasul saat itu untuk membayangkan bahwa ada orang bangsa lain yang dibaptis menjadi pengikut Yesus. Buktinya, Tuhan sampai repot-repot memberikan mimpi pada Petrus sebelum Kornelius datang kan.

Keistimewaan lain dari cerita ini adalah Tuhan kayaknya sengaja memilih sida-sida ini secara spesifik untuk menjadi Kristen. Filipus diperintah oleh malaikat secara khusus untuk pergi ke jalan yang sepi di padang gurun. Kemudian ketika Filipus melihat kereta sida-sida ini, Roh Kudus memberitahunya untuk mendekati kereta itu. Arahan yang sangat spesifik ini menunjukkan bahwa Tuhan sedang mendemonstrasikan pilihanNya. Bisa aja sida-sida ini diselamatkan di momen yang lain kan, misalnya saat Petrus berkhotbah dan 3000 orang dibaptis di Kisah 2 itu. Toh waktu itu sida-sida ini sedang di Yerusalem, dan berita tentang Yesus lagi hot-hot nya: kematian dan kebangkitan Yesus, turunnya Roh Kudus, 3000 org bertobat, kematian Stefanus, dll. Tapi nampaknya dia tidak terlalu ngeh dengan berita itu. Nyatanya, Tuhan menunjukkan proses yang istimewa hingga diperlukan 14 ayat untuk menceritakan pertobatan 1 orang ini.

Siapa sih sebenarnya sida-sida ini? Alkitab tidak memberikan banyak informasi tentang latar belakangnya, namun yang pasti pertobatannya tidak terjadi dalam sekejab itu saja. Pertobatannya sudah Tuhan persiapkan jauh sebelumnya. Pertama, di zaman itu tidak semua orang bisa memiliki salinan Kitab Yesaya. Harganya pasti sangat mahal, karena harus disalin dengan tangan oleh penyalin khusus. Orang yang punya uang banyak pun belum tentu ingin membelinya kalau tidak punya ketertarikan khusus. Hati sida-sida ini jelas sudah memiliki kerinduan tertentu akan Tuhan sebelum bertemu Filipus. Kedua, perjalanan ke Yerusalam dari Etiopia bukan hal yang mudah. Jaraknya kurang lebih 2500km, seperti dari Semarang ke Medan. Pembaca yang budiman ada yang mau naik kereta kuda dari Semarang ke Medan? Monggo dicoba. Ketiga, kalau dia bukan Yahudi, ngapain menyembah Tuhannya orang Yahudi di Yerusalem? Apakah dia ada turunan Israel? Kalaupun iya, dia tidak bisa masuk hitungan jemaah Tuhan karena dia dikebiri kan (inget Ulangan 23 di atas). Jadi nampaknya dia adalah orang non-Yahudi yang entah kenapa tertarik dan ingin menyembah Tuhan di Yerusalem.

Apa yg bisa kita pelajari?
Di situs-situs Bible study, cerita sida-sida ini sering difokuskan ke tema kedaulatan Tuhan dalam menyelamatkan manusia. Kita ngga pernah menyangka cara ajaib yang bisa Tuhan pakai untuk  memilih seseorang secara khusus untuk diselamatkan.

Tema lain yang juga sering muncul adalah cinta kasih Tuhan yang tidak pandang bulu dan tidak pandang burung: suku, ras, etnis, latarbelakang agama, nasionalitas, status sosial, dan maskulinitas. Sida-sida dari Etiopia menyandang semua atribut minoritas ini. So, apapun bentuk dan latar belakang loe, Tuhan cinta sama kamu masbro!

Cerita ini juga banyak dipakai untuk mendukung teman-teman yang secara seksual berbeda dengan kebanyakan orang. Sida-sida ini dipakai sebagai bukti bahwa Tuhan menerima mereka apa adanya, dan bahwa gereja seharusnya inklusif.

Kali ini kita coba renungkan tentang inklusivitas gereja secara lebih luas, dan lebih nyata yuk. Misalnya nih, kamu adalah seorang sutradara terkenal yang berniat membuat versi abad 21 dari kisah sida-sida dari Etiopia ini. Kira-kira siapa yang akan kamu pilih? Siapa kelompok manusia yang paling aneh, menjijikkan, dan tidak terbayangkan untuk berada di gereja? Apa hal yang begitu menjijikkannya sampai dalam mimpi pun (seperti Petrus) kamu tidak mau melakukannya sekalipun Tuhan yang menyuruh?



Gimana kalau ada 20 orang waria datang ke gereja kita dan ingin berjemaat? Bagaimana kalau PSK yang terjangkit HIV? Atau sekelompok mantan narapidana yang dulunya pernah melakukan pemerkosaan, pembunuhan, atau terorisme? Bagaimana kalau pedofilia? Siapkah kita menerima mereka sebagai saudara seiman? Siapkah kita menerima pertanyaan dari anak-anak sekolah minggu “itu siapa, kenapa mereka begitu”?

Di sinilah signifikansi cerita sida-sida dari Etiopia. Cerita ini menantang gereja untuk membagikan kasih Kristus ke siapa saja. Sayangnya pemikiran kita sudah dibentuk oleh dunia untuk mengelompok-ngelompokkan orang, membuat tingkatan-tingkatan, sehingga kita merasa lebih baik, lebih bermartabat, lebih kudus, seolah ngga pernah berbuat dosa. Kalau kita mau belajar jadi manusia yang lebih mengasihi Tuhan dan sesama, kita mesti bertekad membongkar dan menjungkirbalikkan asumsi-asumsi gak penting hasil bentukan dunia itu. Kita mesti belajar melihat Yesus di wajah-wajah jelek yang tidak ingin kita lihat. Bukan hal yang gampang, dan ada segudang risiko yang harus dipertimbangkan. Tapi memangnya siapa bilang mengikut Tuhan itu gampang?
 


Ia tidak tampan
dan semaraknyapun
tidak ada sehingga kita memandang dia,
dan rupapun tidak, sehingga kita menginginkannya.
Ia dihina dan dihindari orang,
seorang yang penuh kesengsaraan
 dan yang biasa menderita kesakitan;
ia sangat dihina,
sehingga orang menutup mukanya terhadap dia
dan bagi kitapun dia tidak masuk hitungan.
Yes 53:2b-3